REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Cendikiawan Muslim Prof KH Didin Hafidhuddin menilai, sertifikasi penceramah agama oleh Kementerian Agama harus menyasar pada masalah-masalah subtantif. Jangan sampai, kebijakan mensertifikasi itu justru menjadi ajang untuk menyudutkan Islam.
Sebagaimana diketahui, Kementerian Agama (Kemenag) berencana melakukan sertifikasi kepada 8.200 penceramah dari beragam agama. Tujuannya adalah untuk menekan radikalisme di Tanah Air. Menanggapi hal ini, KH Didin mempertanyakan substansi nilai dari rencana kebijakan yang digulirkan itu.
“Jika untuk menekan radikalisme, pemerintah harus hati-hati. Jangan sampai sertifikasi ini tidak menyentuh hal-hal substantif, yang ada (dikhawatirkan) justru menyinggung suatu agama tertentu. Karena kan biasanya, radikalisme ini sering disanding-sandingkan oknum tertentu dengan Islam,” kata KH Didin saat dihubungi Republika, Rabu (3/9).
Di sisi lain pihaknya juga mengimbau agar pemerintah untuk fokus pada penanggulangan virus corona jenis baru (Covid-19). Saat ini, fokus bangsa dinilai harusnya adalah untuk menanggulangi Covid-19, bukan justru mengeluarkan kebijakan yang cenderung mengundang kecurigaan masyarakat.
Pemerintah, lanjut KH Didin, harusnya menganggap penceramah agama-agama di Indonesia adalah rekan bermusyawarah. Terlebih, tak terhitung jasa para ulama, pendeta, ataupun pemuka agama lainnya untuk perjuangan bangsa Indonesia.
Namun demikian dia menggarisbawahi, jika kebijakan tersebut berisi nilai-nilai yang substansial dan berdampak baik pada penceramah dan masyarakat, maka hal itu sah-sah saja dilakukan. Hanya saja, pertimbangan dan kehati-hatian perlu dikuatkan.