REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penulis Piter Abdullah Redjalam menghadirkan novel berjudul Air Mata Api, yang terinspirasi dari deretan lagu ciptaan musisi Iwan Fals. Piter mengembangkan 12 lagu Iwan menjadi 12 bab cerita dalam novel.
Sama seperti lagunya, novel memotret kehidupan sosial masyarakat pinggiran, yang dijuluki kaum kusam. Perilisan novel berlangsung di kediaman Iwan di Leuwinanggung, Tapos, Depok, Kamis (3/9), bertepatan dengan hari ulang tahun Iwan yang ke-59.
Bab dalam novel dimulai dengan "Berandal Malam di Bangku Terminal". Berlanjut dengan "Rindu Tebal", "Nak", "Asmara tak Secengeng yang Aku Kira", "Antara Aku Kau dan Bekas Pacarmu", "Senandung Istri Bromocorah", dan "Ada Lagi yang Mati".
Piter juga mengubah lirik "Adzan Subuh Masih di Telinga", "Ujung Aspal Pondok Gede", "Jangan Tutup Dirimu", "Air Mata Api", dan "Aku Antarkan" menjadi cerita dengan konflik berkelindan. Sang penulis mengaku sebagai penggemar berat Iwan Fals.
"Proses penulisan buku ini saya selesaikan sekitar 10 tahun. Saya besar bersama lagu-lagu Bang Iwan, sejak SD, hampir semua lagunya mengena sekali, refleksi kehidupan, dan punya narasi kuat," kata Piter yang juga dikenal sebagai pakar ekonomi.
Dia memilih "Air Mata Api" sebagai judul karena dianggap sempurna menceritakan kemarahan orang yang tersingkirkan dan tersia-sia, benang merah dari keseluruhan novel. Para pencinta karya Iwan Fals diharapkan bisa memberi pemaknaan baru atas karya.
Novel merupakan kolaborasi Piter dengan Tiga Rambu Management yang menaungi Iwan Fals serta perusahaan manajemen kekayaan intelektual, Khas Studio. Iwan Fals menyambut baik terbitnya novel Air Mata Api.
Musisi bernama asli Virgiawan Listanto itu mengaku terhanyut saat membaca novel karya Piter. Dia salut karena karya seni dalam bentuk lagu bisa berkembang menjadi cerita yang kompleks, dan memiliki semestanya sendiri.
Iwan mengatakan, imajinasi bisa memungkinkan semua itu. Dia tidak menyangka dari lagu-lagunya bisa muncul sejumlah karakter dengan penokohan kuat dalam novel, seperti Gara, Bambang Sugana, Gayatri, dan Juki.
Iwan seolah dilemparkan lagi ke era 1967, padahal beberapa lagunya dia buat pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an. Dia menyebut latar kisah rekaan Piter sebagai sebuah dunia yang gelap tapi juga memuat kebaikan.
"Dunia penuh pelanggaran hukum, tapi ada kesan penjahat budiman. Sekarang ini perlu kita merenung kembali tentang kegelapan, karena kalau tidak ada kegelapan, kita tidak mungkin tahu seperti apa terang," ungkap Iwan.