Jumat 04 Sep 2020 16:27 WIB

PBB Kirim Surat ke China Tolak UU Keamanan Hong Kong

UU ini dinilai dapat digunakan untuk menuntut aktivis politik di Hong Kong.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Teguh Firmansyah
 Para pengunjuk rasa menentang undang-undang keamanan nasional yang baru dengan lima jari, menandakan Lima tuntutan - tidak kurang pada peringatan penyerahan Hong Kong ke China dari Inggris di Hong Kong, Rabu, Juli. 1, 2020. Hong Kong menandai peringatan 23 tahun penyerahannya ke Cina pada tahun 1997, dan hanya satu hari setelah Cina memberlakukan undang-undang keamanan nasional yang menindak protes di wilayah tersebut.
Foto: AP / Vincent Yu
Para pengunjuk rasa menentang undang-undang keamanan nasional yang baru dengan lima jari, menandakan Lima tuntutan - tidak kurang pada peringatan penyerahan Hong Kong ke China dari Inggris di Hong Kong, Rabu, Juli. 1, 2020. Hong Kong menandai peringatan 23 tahun penyerahannya ke Cina pada tahun 1997, dan hanya satu hari setelah Cina memberlakukan undang-undang keamanan nasional yang menindak protes di wilayah tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Pakar hak asasi manusia PBB mengatakan kepada China bahwa undang-undang keamanan baru untuk Hong Kong melanggar hak-hak fundamental warga, Jumat (3/9). PBB prihatin bahwa undang-undang itu dapat digunakan untuk menuntut aktivis politik di bekas koloni Inggris ini.

Dalam surat bersama yang jarang dipublikasikan ini, badan tersebut mengatakan ketentuan undang-undang baru tampaknya merusak kemerdekaan hakim dan pengacara Hong Kong, dan hak atas kebebasan berekspresi. Surat tersebut memuat analisis hukum terperinci dari undang-undang keamanan nasional yang diberlakukan di Hong Kong pada 30 Juni.

Baca Juga

Surat setebal 14 halaman itu diunggah di situs web kantor hak asasi manusia PBB setelah 48 jam dikirimkan ke China. Surat itu dikirim atas nama pelapor khusus PBB tentang perlindungan hak asasi manusia dan melawan terorisme, Fionnuala Ni Aolain, dan enam pakar PBB lainnya.

Para ahli independen mengatakan tindakan hukum tersebut tidak sesuai dengan kewajiban hukum China di bawah hukum internasional. "Kurang presisi dalam hal-hal utama, (dan) melanggar hak-hak fundamental tertentu," ujar surat bersama itu.