REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Buya Anwar Abbas menyampaikan surat terbuka kepada Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi.
Melalui surat terbuka ini Buya Anwar selaku pemerhati masalah sosial, ekonomi dan keagamaan menyarankan agar Menag berbicara tuntas dan lugas.
Buya Anwar mengatakan, Menag kalau berbicara ujung-ujungnya radikalisme dan yang kena ujung-ujungnya umat Islam. "Kita memang tidak setuju dengan radikalisme karena ujung-ujungnya tidak mengenakkan bagi banyak pihak terutama pihak tertentu," kata Buya Anwar dalam surat terbukanya untuk Menag, Jumat (4/9).
Dia menegaskan, tetapi mestinya Menag juga mempersoalkan mengapa muncul radikalisme. Kalau menurut Menag tentu munculnya radikalisme karena kurikulum dan buku-buku ajar yang ada memuat hal tersebut atau karena banyak dai yang berpikiran demikian. Oleh karena itu solusinya bagi Menag yaitu ganti atau sempurnakan bukunya dan jangan lagi menghadirkan dai-dai serta penceramah yang bicaranya suka mengkritik rezim.
Buya Anwar yang juga Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (Sekjen MUI) menyampaikan, apa yang dikritik dai-dai dan penceramah-penceramah tersebut. Yaitu adanya ketidakadilan dan diskriminasi serta tidak tegaknya hukum di negeri ini. Karena hukum di negeri ini tajam ke bawah tumpul ke atas.
Selain itu banyak Undang-undang (UU) dan kebijakan yang dijadikan dasar oleh para pejabat untuk mencari rente dan berkolusi dengan para pemilik kapital untuk meraup keuntungan bagi dirinya dan kelompoknya. "Sehingga kita lihat banyak sekali rakyat yang menjerit kesakitan karena perlakuan pihak aparat yang melakukan kekerasan dalam kehidupan masyarakat (KDKM)," ujar Buya Anwar.
Buya Anwar mengatakan, kalau ada suami atau istri yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), mereka bisa ditangkap, itu jelas hukum yang bagus. Tapi kalau ada pejabat, aparat dan pengusaha atau pemilik kapital yang melakukan KDKM berupa lisan atau fisik, maka siapa yang menindak.
"Nyaris tidak ada yang menindak bahkan kita melihat orang-orang yang telah melakukan tindak kekerasan tersebut tetap saja bebas dan duduk dengan pongahnya di singgasananya masing-masing dengan wajah tanpa merasa berdosa," ujar Buya Anwar.
Lalu para dai berteriak membela hak-hak rakyat yang tertindas tersebut. Kemudian mereka dianggap dan dicap sebagai provokator dan radikal. Kalau dilihat secara luas dan jernih apakah bisa dibenarkan mencap para dai sebagai provokator dan radikal, tentu tidak benar.
"Oleh karena itu kalau kita bicara radikalisme jangan hanya di ujung atau di muaranya saja tapi cari penyebabnya sampai kehulunya. Kita akan menemukan inti masalahnya yaitu adanya ketidakadilan, diskriminasi dan lain-lain sifat tercela," kata Buya Anwar yang juga sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini.
Buya Anwar mengatakan, kalau Menag mau memberantas radikalisme secara serius maka jangan hanya bicara di muaranya saja, tapi Menag harus bicara secara komprehensif dan totalitas. Selanjutnya membuat program untuk menghentikan segala bentuk ketidakadilan dan diskriminasi yang ada di negeri ini sampai ke akar-akarnya.
Kalau akar dari radikalisme itu tidak bisa dihilangkan maka radikalisme yang tidak disukai itu tetap akan muncul. Sehingga menjadi pekerjaan yang sia-sia yang menghabiskan waktu, dana, dan tenaga karena menjadi pekerjaan yang tidak pernah usai.
"Oleh karena itu kita mengimbau Menag agar mulai berani bicara tidak hanya tentang radikalisme saja tapi juga bicara tentang penyebab-penyebabnya di mana sumbunya adalah karena banyaknya praktek-praktek ketidakadilan dan diskriminasi serta perbuatan-perbuatan tidak terpuji lainnya yang harus kita setop dan hentikan," ujarnya.
"Ini perlu kita lakukan agar negeri ini bisa menjadi negeri yang maju adil dan makmur di mana rakyatnya hidup dengan aman tentram damai dan bahagia. Bukankah itu yang menjadi tujuan kita bersama dalam bernegara," kata Buya Anwar mengakhiri surat terbukanya.