REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan risiko kelaparan dan melemahnya ketahanan pangan di empat negara yang sedang dilanda konflik. Guterres mengatakan jutaan nyawa di Kongo, Yaman, utara Nigeria dan Sudan Selatan terancam bahaya.
Dalam catatan yang diberikan pada anggota-anggota Dewan Keamanan, Guterres mengatakan berdasarkan Laporan Krisis Pangan Global 2020 dan analisa para pengamat, empat negara tersebut sedang mengalami 'krisis pangan terbesar di dunia'. Tapi anggaran untuk membantu mereka sangat kecil.
"Dibutuhkan tindakan sekarang juga, setelah mengalami konflik bersenjata dan kekerasan selama bertahun-tahun, rakyat Republik Demokratik Kongo, Yaman, utara Nigeria, dan Sudan Selatan kembali menghadapi momok kerawanan pangan dan potensi kelaparan," kata Guterres dalam catatan tersebut, Sabtu (5/9).
Sekjen PBB menambahkan indikator di negara-negara yang juga mengalami konflik seperti Somalia, Burkina Faso dan Afghanistan 'juga sama buruknya'. Guterres mengatakan situasi di setiap negara memang berbeda-beda.
"Tapi warga sipil dibunuh, terluka atau terusir, mata pencaharian hancur, dan saat kerentanan meningkat, ketersediaan dan akses pada pangan terganggu, pada saat yang sama operasi kemanusiaan untuk membantu menyelamatkan nyawa diserang, ditunda atau dihalangi," tambahnya.
Ia mengatakan kerawanan pangan di negara-negara konflik 'kini diperburuk oleh bencana alam, guncangan ekonomi dan krisis kesehatan publik'. Guterres menambahkan semuanya diperparah oleh pandemi virus korona.
Wakil Sekjen bidang Kemanusian dan Koordinator Bantuan Darurat PBB Mark Lowcock mengatakan langkah-langkah untuk memutus rantai penularan virus korona yang dilakukan pemerintah di seluruh dunia. Seperti isolasi, penutupan perbatasan dan pembatasan ruang gerak lainnya 'berdampak besar pada ketahanan pangan dan produktivitas pertanian.
Ia menambahkan kelompok-kelompok ekstremis pun mengambil kesempatan 'untuk mengambil keuntungan dari semua ini'. Lowcock mengatakan semua orang disibukan oleh pandemi Covid-19.
"Tapi bukan virus yang menciptakan pembantaian massal, hal itu terjadi karena hal itu, dan kami harus fokus pada hal yang benar-benar banyak menghilangkan nyawa," kata Lowcock.
Lowcock mengatakan sebagai besar yang menyebabkan hal itu adalah konsekuensi dari Covid-19. Seperti pelemahan ekonomi, menurunya layanan dasar untuk masyarakat dan 'kerentanan yang ditimbulkan kelompok ekstremis'.
Ia menambahkan masih banyak hal yang perlu dilakukan. Seperti membagikan alat pelindung diri (APD), mensosialisasikan virus korona ke masyarakat luas, dan mengkampanyekan sanitasi bersih.
"Semua hal baik, tapi jika melakukan Anda semua ini di tempat-tempat yang paling terdampak dengan mengorbankan kebutuhan dasar manusia, maka pada akhirnya Anda tidak mengurangi jumlah nyawa yang hilang tapi justru menambahnya," tambah Lowcock.