REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Topik inilah sebenarnya yang menjadi inti dan maksud bahasan kitab Nashaih Al-Khaththathin. Menekuni kaligrafi sama halnya mengagungkan kalimat-kalimat suci. Sebab, sering kali kata-kata yang diangkat dalam karya kaligrafi adalah ayat-ayat Alquran ataupun hadis Rasulullah SAW yang wajib dimuliakan. Karena itu, paparan tentang etika seorang kaligrafer diletakkan di pengujung kitabnya. Etika menekuni kaligrafi pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan adab dan akhlak mempelajari Alquran.
Di antara adab, yang penting ditekankan oleh para kaligrafer adalah meluruskan niat. Menekuni kaligrafi sepatutnya tidak didasari tujuan duniawi semata, baik untuk ketenaran, meraup materi, maupun alasan lainnya. Seorang kaligrafer dituntut untuk menamakan sifat ikhlas. Karena, hal itu merupakan kunci penting untuk memperoleh ridha Allah.
Padahal, mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus. (QS Al-Bayyinah [98]: 5).
Hal serupa juga ditekankan oleh Imam Al-Qusyairi. Menurutnya, ikhlas berarti memperuntukkan ketaatan hanya untuk Allah semata. Ketaatan ditujukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan ikhlas, seseorang tidak akan suka pujian atau makna apa pun, selain mendekatkan diri kepada Allah.
Adab yang kedua adalah mengolah dan menempa kemampuan spiritualitas. Seorang kaligrafer harus memiliki etika yang baik dan berakhlak terpuji dalan setiap tingkah laku dan ucapannya. Olah spiritual akan sangat membantu menghasilkan seni kaligrafi yang berkualitas. Sebab, kaligrafi sebagai salah satu seni dan erat kaitannya dengan kejernihan hati.
Jadi, belajar dan menekuni kaligrafi bukan sekadar menggoreskan kuas di kanvas atau lembaran. Tapi, pada hakikatnya, dalam Islam menulis kaligrafi adalah menukil sesuatu yang suci sehingga proses dan prosedur yang diletakkan pun mesti suci pula.
Ada pesan penting yang mesti diperhatikan para penulis kaligrafi. Wahai, para pembawa ilmu, amalkanlah ilmu kalian karena sesungguhnya seorang alim adalah yang mengamalkan apa yang ia ketahui sehingga antara ilmu dan amal selaras. Ingatlah akan muncul kelompok yang membawa ilmu tidak sampai tenggorokan mereka. Perbuatan mereka tidak sesuai dengan ilmunya, antara batin dan realita lahir tidak sejalan, mereka menghadiri majelis hanya untuk membanggakan diri satu sama lain sampai orang lain enggan duduk dan meninggalkannya. Merekalah orang-orang yang amalnya tidak diterima oleh Allah.