REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Penikahan adalah akad yang sangat agung. Ia disebut mitsaqan ghaliza karena dampak dari akad yang tak lebih dari satu menit itu amat luas.
Ucapan akad pernikahan mengantarkan tanggung jawab yang dipikul seorang wali kepada seorang laki-laki yang menjadi suami. Akad pernikahan juga membuat yang haram menjadi halal, yang dosa menjadi pahala. Akad nikah juga melahirkan garis nasab di mana hak waris melekat padanya.
Pernikahan adalah kebaikan yang bertambah bernama berkah. Di dalamnya mencakup keberkahan dalam masa senang, keberkahan dalam masa sulit. Jadi, tak sekadar berburu kesenangan semata. Salah satu adat yang mirip dengan pernikahan namun secara esensi berbeda adalah nikah mut’ah.
Nikah mut’ah atau kawin kontrak agaknya tak asing didengar masyarakat saat ini. Hubungan laki-laki dan perempuan yang diikat dalam perjan ji an masa tertentu. Di dalamnya tidak ada pengakuan anak, terlebih waris. Beberapa disebutkan wanita dalam nikah mut’ah tidak wajib untuk diberi nafkah. Bagaimana para ulama Indonesia memandang nikah mut’ah ini?
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan dua kali fatwa tentang nikah model ini. Pertama, menyoroti tentang nikah mut’ah dan nikah wisata yang tak jauh dari praktik nikah mut’ah.
Dalam sejarah Islam, praktik nikah mut’ah pernah diperbolehkan. Seperti pendapat Imam Nawawi dalam syarah Shahih Muslim. Menurut Imam Nawawi, yang benar dalam masalah nikah mut’ah adalah pernah diperbolehkan kemudian diharamkan dua kali. Diperbolehkan sebelum perang Khaibar, kemudian diharamkan saat perang Khaibar. Pernah diperbolehkan selama tiga hari ketika Fathu Makkah tepatnya pada perang Authas kemudian setelah itu diharamkan selamanya sampai hari kiamat.
MUI menukil beberapa dalilnya dari hadis riwayat Muslim. Dari Rabi’ bin Sabrah al-Juhani dari ayahnya ia berkata, “Saya hendak menghadap Rasulullah SAW, namun beliau sedang berdiri antara rukun yamani dan maqam Ibrahim dengan menyandarkan punggungnya ke Ka’bah seraya bersabda, ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku memerintahkan kalian untuk istimta’ daripada perempuan. Ketahuilah, sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan atas kalian hingga hari kiamat. Barang siapa yang masih memiliki perempuan tersebut hendaknya melepaskannya. Jangan ambil sesuatu pun dari apa yang telah kalian bayarkan kepada mereka.’”
Dalam hadis lain, dari Iyas Ibnu Salamah dari ayahnya ia berkata, “Rasulullah SAW memberikan keringanan pada tahun Authas untuk melakukan mut’ah selama tiga hari kemudian melarang praktik tersebut.” (HR Muslim).
Dengan dasar itu, jumhur ulama mengharam kan praktik nikah mut’ah. Dalam surah al-Mukminun ayat 5-6, Allah berfirman, “Dan (di antara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap istri atau jariah mereka. Maka, sungguh mereka dalam hal ini tidak tercela.” Wanita yang dinikahi mut’ah bukan termasuk istri atau jariah dalam hal ini.
Meskipun dilaksanakan akad layaknya pernikah an, ada beberapa perbedaan antara akad nikah dan mut’ah. Akad mut’ah tidak saling mewarisi, iddah mut’ah tidak seperti iddah nikah, seorang yang mut’ah tidak dianggap muhsan, nikah mut’ah bisa dengan sebanyak-banyaknya wanita, nikah mut’ah bertentangan dengan tujuan pernikahan yakni melanggengkan keturunan.
Dalam konteks Indonesia, praktik nikah mut’ah dinilai MUI bertentangan dengan Kompilasi Hukum Islam dan UU Perkawainan No 1 Tahun 1974. Padahal, ujar MUI, menaati peraturan pemerintah adalah sebuah kewajiban sesuai dengan kaidah fikih, “Keputusan pemerintah mengikat dan menghilangkan perbedaan.”
Komisi Fatwa MUI yang saat itu diketuai Prof KH Ibrahim Hosen memberi pertimbangan jika mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut Suni dan menolak ajaran mut’ah dalam paham Syi’ah secara umum.
MUI menegaskan kembali dalam Munas MUI tahun 2010 tentang nikah wisata. Nikah wisata juga dinyatakan haram karena hanya diniatkan untuk kebutuhan sesaat. Nikah wisata adalah salah satu bentuk dari nikah mut’ah. Dasar keharaman dalam hadis disebutkan dari Ali bin Abi Thalib RA, bahwa Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah pada perang Khaibar, juga melarang memakan daging keledai peliharaan (Muttafaq ‘alaih).
Umar bin Khatab RA berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW memberi izin mut’ah selama tiga hari kemudian mengharamkannya. Demi Allah, saya tidak mengetahui satu pun laki-laki yang melakukan mut’ah sementara dia seorang yang pernah menikah kecuali saya rajam dengan batu.” (Ibnu Majah meriwayatkannya dengan sanad shahih).
Ibn al-Humam dalam Fathul Qadir menyebut para ulama berijma’ jika hukum nikah mut’ah adalah haram untuk selamannya.