REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh bertemu dengan Sekretaris Jenderal Hizbullah Sayyed Hasan Nasrallah di Beirut, Lebanon, pada Sabtu (5/9). Itu menjadi perjalanan pertama Haniyeh ke negara tersebut dalam 27 tahun terakhir.
Terdapat beberapa isu yang dibahas Haniyeh dan Nasrallah, terutama terkait perkembangan politik serta militer di Palestina. Dilaporkan laman Mehr News Agency, salah satu topik yang dibicarakan adalah tentang bahaya Deal of the Century, yakni skema perdamaian rancangan pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk Timur Tengah, termasuk Israel-Palestina. Rencana perdamaian itu telah dikecam karena dianggap sangat memihak dan menguntungkan Israel.
Haniyeh dan Nasrallah Proyeksi turut membahas proyeksi normalisasi hubungan diplomatik antara dunia Arab dan Israel. Rezim Zionis diketahui telah mencapai kesepakatan normalisasi hubungan diplomatik dengan Uni Emirat Arab (UEA) pada 13 Agustus lalu. Selain isu-isu tersebut, Haniyeh dan Nasrallah juga membicarakan perihal pentingnya memperluas hubungan timbal balik antara Hamas dan Hizbullah.
Mereka menekankan stabilitas poros perlawanan terhadap segala tekanan dan ancaman. Delegasi Hamas tiba di Beirut pada Selasa (1/9) lalu. Sebelum bertemu Nasrallah, Haniyeh telah melangsungkan pembicaraan dengan Pemimpin Jihad Islam Ziad al-Nakhalah, Plt Perdana Menteri Hassan Diab, dan Ketua Parlemen Lebanon Nabih Bari.
Saat bertemu al-Nakhalah, salah satu topik yang dibahas Haniyeh adalah tentang normalisasi hubungan UEA dengan Israel. "Pertemuan tersebut menekankan pentingnya komunikasi dan koordinasi antara mereka untuk menghadapi agresi serta menghadapi plot, terutama 'Deal of the Century' (rencana perdamaian Trump), rencana aneksasi kolonial, proyek normalisasi dan upaya untuk memperketat serta melegitimasi pengepungan Gaza," kata kantor Haniyeh dalam sebuah pernyataan, dikutip laman Times of Israel.
Haniyeh terakhir kali berada di Lebanon pada 1993 pasca Israel mengasingkan 415 anggota Hamas dan Jihad Islam ke negara tersebut selama 1,5 sampai dua tahun. Pengasingan itu akhirnya dipersingkat setelah tekanan dari pemerintahan mantan presiden AS Bill Clinton dan perdebatan di Israel mengenai apakah tindakan itu legal. Dewan Keamanan PBB juga mengecam deportasi massal tersebut. Mereka menyebutnya sebagai pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa Keempat.