REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Warga kota Beirut, Lebanon kesulitan untuk bangkit dan pulih dari ledakan 4 Agustus lalu. Seperti Ghassan Toubaji yang terpaksa membiarkan langit-langit rumahnya masih berlubang. Melalui lubang itu ia dapat melihat kabel-kabel, rangka besi, batu bata yang hancur dan sedikit awan.
Laki-laki 74 tahun itu selamat dari ledakan di pelabuhan Beirut bulan lalu. Ia hanya lecet-lecet tapi dampak ledakan memparah penyakit jantung dan sirkulasi darahnya. Selain masalah kesehatan, hancurnya perekonomian Lebanon membuat ia tidak dapat bekerja.
Ia menggunakan dolar AS yang disimpan istrinya untuk memperbaiki jendela yang rusak. Dolar AS menjadi komoditas yang berharga setelah krisis ekonomi menguapkan nilai mata uang lokal.
Sekelompok sukarelawan sempat mendatangi apartemen Toubaji dan mengasesmen kerusakannya. Sukarelawan menjadi simbol semangat gotong royong yang tumbuh saat kelas politik Lebanon yang korup dinilai gagal mengatasi berbagai persoalan di negara itu.
Mereka memasang plastik di jendela dan berjanji akan memberikan kaca gratis. Tapi setelah empat pekan mereka belum kembali ke apartemen tersebut. Sambil tersenyum Toubaji mengatakan ia sangat menghargai semangat anak-anak muda yang bergabung dalam tim sukarelawan tapi ia tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
Selama musim panas ada hari di mana kelembaman mencapai 80 persen. Lubang di langit-langit membuat sinar matahari langsung masuk ke dalam rumah keluarga Toubaji. "Rumah kami panas seperti neraka," kata Toubaji yang memakai celana pendek dan kaus sambil menonton berita di ruang tengah apartemennya yang berlubang, Ahad (6/9).
Banyak keluarga-keluarga di Lebanon yang kesulitan untuk merenovasi rumah mereka yang rusak akibat ledakan. Padahal krisis ekonomi di negara itu sudah membuat banyak warga Lebanon tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Kini hidup mereka semakin sulit karena tidak dapat memperbaiki rumah yang rusak agar layak huni. Rasa frutasi masyarakat Lebanon pun sangat tinggi, sementara bantuan pemerintah sama sekali tidak terlihat dan bantuan internasional yang dijanjikan terlambat datang.
Musim hujan dan dingin pun tinggal beberapa pekan lagi. Banyak organisasi kemanusian khawatir mereka tidak memiliki cukup waktu atau sumber daya untuk memperbaiki dan membangun kembali bangunan yang hancur karena ledakan.
PBB memperkirakan ledakan pelabuhan Beirut merusak sekitar sekitar 200 ribu unit rumah dan 40 ribu gedung, Sekitar 3.000 di antaranya tidak layak huni.
Hilangnya tempat tinggal hanya salah satu dari dampak ledakan yang dipicu hampir 3.000 ton amonium nitrat yang disimpan di tempat dan dengan cara yang tidak semestinya. Ledakan non-nuklir terbesar yang pernah tercatat ini juga menewaskan 190 orang dan melukai ratusan lainnya.
Satu bulan sejak ledakan terjadi, Beirut masih terluka, kota itu kesulitan untuk bangkit dari insiden yang menghilangkan begitu banyak nyawa. Gedung tinggi yang menghadapi ke arah ke pelabuhan masih hancur berantakan.
Gedung yang dibangun dengan batu berusia ratusan tahun itu berlubang dan tak berbalkon. Jalan kecil yang sejajar dengan pelabuhan hilang sama sekali. Sejumlah warga setempat yang berkeliling di sekitar gedung itu berjalan dengan wajah tertutup, tangan yang diperban atau dengan kruk.
Media sosial masih dibanjir video dan kisah-kisah traumatik sekitar ledakan. Banyak orang yang mengunggah foto korban tewas di jalan.
Salah satu poster yang memasang foto para korban itu bertuliskan 'mereka korban, bukan martir'. Poster tersebut tampaknya mengkritik upaya pemerintah Lebanon melepaskan tanggung jawab dengan membingkai para korban seolah-olah mengorbankan diri mereka sendiri.
Dalam konferensi penggalangan dana yang digelar bersama Prancis satu hari setelah ledakan terjadi. PBB meminta negara-negara lain mengumpulkan dana darurat sebesar 344,5 juta dolar untuk sampai bulan November. Tapi sejauh ini mereka baru menerima 16,3 persen dari dana yang dibutuhkan.
Konsultan di Norwegian Refugees Council for Lebanon, Elena Dikomitis mengatakan dana bantuan sebesar 84,5 juta dolar akan digunakan untuk memperbaiki dan mengamankan pemukiman. Tapi baru 1,9 juta dolar yang terkumpul. Ia khawatir anggarannya tidak cukup.
"Musim dingin dan hujan dapat mulai bulan Oktober, tentu puluhan ribu rumah tidak dapat diperbaiki tepat waktu, kami mengetahuinya dengan pasti, bahkan dengan upaya yang sedang berjalan," kata Dikomitis.