Senin 07 Sep 2020 14:24 WIB

PDIP dan Keyakinan Politisasi Komentar Sumbar Puan

PDIP percaya komentar Sumbar Puan tak pengaruhi pilkada daerah lain.

Ketua DPP PDIP Puan Maharani. PDIP optimistis pernyataan Ketua DPP Bidang Politik dan Keamanan Puan Maharani terkait Sumatra Barat (Sumbar) tidak akan menjadi preseden negatif.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua DPP PDIP Puan Maharani. PDIP optimistis pernyataan Ketua DPP Bidang Politik dan Keamanan Puan Maharani terkait Sumatra Barat (Sumbar) tidak akan menjadi preseden negatif.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Nawir Arsyad Akbar, Antara

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) optimistis pernyataan Ketua DPP Bidang Politik dan Keamanan Puan Maharani terkait Sumatra Barat (Sumbar) tidak akan menjadi preseden negatif. Partai berlogo kepala banteng moncong putih itu yakin hal tersebut tidak akan berdampak bagi Pilkada di wilayah lain.

Baca Juga

"Saya meyakini rakyat Indonesia sudah cerdas dan selalu berpikir jernih dalam menerima berbagai informasi," kata Wakil Sekretaris Jendral PDIP Sadarestuwati di Jakarta, Senin (7/9).

Dia mengatakan, masyarakat tidak akan menelan langsung atau mentah-mentah informasi yang masuk ke dalam diri mereka. Menurutnya, publik akan mencari tahu kebenarannya dari sumber-sumber yang lain yang dapat dipercaya.

Dia mengatakan, kecerdasan publik itulah yang membuat partai besutan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri ini yakin pernyataan Puan tidak akan mengganggu kontestasi Pilkada di daerah lain. Lanjutnya, perjalanan calon-calon yang telah direkomendasikan PDIP juga tidak akan terkendala.

"Karena sebenarnya apa yang disampaikan oleh mbak Puan tidak ada yang salah. Negara kita memang negara Pancasila dan itu tidak bisa diganggu gugat dan tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi," katanya.

Wakil Ketua MPR RI dari PDIP Ahmad Basarah menilai pernyataan Puan Maharani terkait Pancasila dan Sumatra Barat telah dipolitisasi oleh beberapa pihak dengan berbagai latar belakang motif. Dalam keterangannya, ia menilai motif tersebut mulai dari persaingan kontestasi Pilkada Sumbar sampai motif ideologis dan politis untuk menghancurkan citra Puan Maharani dan PDI Perjuangan.

"Padahal, jika kita telisik secara jernih dalam konteks alam pikir kebangsaan dan spiritualitas Puan Maharani sebagai seseorang yang sedang memegang amanat sebagai Ketua DPR RI perempuan pertama Republik Indonesia, kita sesungguhnya telah menemukan esensi alam pikir dan spiritualitas seorang Puan dalam dimensi nasionalisme relgius," kata Basarah.

Ia mengatakan hal itu terkait dengan polemik pernyataan Puan saat mengumumkan calon peserta Pilkada Serentak 2020 dari PDI Perjuangan pada hari Rabu (2/9). Dalam kesempatan itu, Puan mengatakan, "semoga Sumatra Barat menjadi provinsi yang memang mendukung Pancasila. Bismillahi rahmanirrahim."

Lalu pernyataan tersebut dipermasalahkan berbagai pihak. Ketika kata "Pancasila" dan "bismillah" diucapkan Puan dengan sadar dan khidmat, menurut Basarah, itu membuktikan dalam diri Puan terbentuk dan mengalir pikiran kebangsaan dan sikap religius yang sangat kuat.

Ketua DPP PDIP itu menilai konstruksi pemikiran dan sikap Puan yang nasionalis religius itu menggambarkan Puan bukan hanya sosok cucu biologis Bung Karno, melainkan juga sosok cucu ideologis presiden pertama RI. "Nasionalisme religius Puan Maharani juga lahir dari latar belakang kultural ayahnya, almarhum Taufiq Kiemas, dan ibunda tercinta, Megawati Soekarnoputri," ujarnya.

Ketua Fraksi PDIP MPR RI itu mengaku heran jika ada yang tersinggung hanya karena Puan berharap Sumatra Barat menjadi provinsi yang mendukung Pancasila. Menurut Basarah, mestinya ucapan Puan itu justru dilihat dari kecintaan Puan yang besar kepada rakyat Sumbar agar dapat lebih sejahtera dan berkeadilan sosial melalui Pilkada 2020.

Ia menegaskan bahwa dalam darah Puan mengalir garis keturunan Minang yang kuat, tidak mungkin dia ingin menistakan tanah kelahiran nenek moyangnya sendiri, nenek Puan dari garis ayahnya, yakni almarhum Taufiq Kiemas, bernama Hamzatun Rusdja adalah tokoh perempuan Minang dari Kabupaten Tanah Datar Sumatra Barat. "Bahkan, Taufiq Kiemas sendiri pernah mendapat gelar Datuk Basa Batuah, ibunya, Megawati Soekarnoputri, mendapat gelar Puti Reno Nilam," ujarnya.

Dari trah ibunya, Megawati Soekarnoputri, eyang buyut putrinya berasal dari Bali bernama Ida Ayu Nyoman Rai, sedangkan eyang buyut putra berasal dari Jawa Timur bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo.

Menurut dia, dari Raden Soekemi-Ida Ayu lahir seorang tokoh nasionalis religius berwawasan luas bernama Soekarno, sedangkan nenek Puan, Fatmawati, adalah putri dari pasangan Hasan Din dari Bengkulu dengan Siti Khadijah dari keturunan Kerajaan Inderapura yang berpusat di Pesisir Selatan, Sumatra Barat.

Sementara itu, dari garis keturunan ayahnya, almarhum H.M. Taufiq Kiemas, kakek Puan berasal dari Sumatra Selatan bernama Tjik Agoes Kiemas dan nenek bernama Hamzatoen Rosjda dengan ayah berasal dari Pulau Pisang Krui, Lampung, bernama Joesaki, dan ibu dari Batipuh Tanah Datar, Sumatra Barat, bernama Taksiah.

"Dengan silsilah keluarga yang majemuk itu, dalam diri Puan mengalir darah Jawa Timur, Bali, Bengkulu, Lampung, Sumatra Selatan, dan Sumatra Barat. Sosok Puan Maharani adalah ciri khas Indonesia sejati," katanya.

Basarah menilai perpaduan gen ideologis dan kultural daerah nenek moyang Puan itu yang membentuk karakter politik nasionalis religiusnya. Oleh karena itu, alam pikir dan spiritualitas Puan menginstruksikanya untuk mengeluarkan kata Pancasila dan bismillah dalam satu tarikan napas.

Kalau dikaji dalam perspektif komunikasi politik, lanjut dia, pihak-pihak yang mempermasalahkan pernyataan Puan tentang Pancasila dan bismillah sesungguhnya secara tidak langsung telah membantu mempromosikan dan menjelaskan kepada masyarakat luas bahwa Puan adalah sosok Ketua DPR RI yang alam pikir dan spiritualitasnya mewakili spektrum nasionalis religius. Sementara itu, dari perspektif moralitas politik, menurut Basarah, makin Puan mengalami penzaliman, termasuk atas pernyataan Pancasila dan bismillah, akan makin mendorong dan mengangkat Puan sebagai calon pemimpin masa depan bangsa Indonesia, seperti kakeknya, Bung Karno, dan ibundanya, Megawati Soekarnoputri.

Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari, menilai pernyataan Puan Maharani tak akan mempengaruhi pasangan calon lain yang berkontestasi di luar Sumatra Barat. Pasalnya, pernyataan Puan itu tak menyebut daerah lain.

“Kayaknya tidak yah, karena yang disebutkan cuma Sumatra Barat, daerah lain tidak disebut,” ujar Qodari kepada Republika.co.id.

Namun, hal yang berbeda dapat dirasakan oleh calon kepala daerah kabupaten/kota di Pilkada Sumatra Barat. Meskipun hingga saat ini ia belum mendengar adanya pasangan calon yang didukung PDIP yang juga mengembalikan surat keputusan (SK) rekomendasi.

“Ini sebenarnya menarik untuk dilihat sikap dari calon yang didukung PDI Perjuangan di level kabupaten/kota, apakah ada juga yang istilahnya melepaskan dukungan dari PDIP,” ujar Qodari.

Pengembalian SK dukungan dari PDIP oleh paslon Mulyadi-Ali Mukhni tak semata-mata disebabkan oleh pernyataan Puan. Sebab, ia melihat ada keterlibatan Partai Demokrat yang menjadi bahan pertimbangan keduanya.

“Mereka kan didukung oleh Partai Demokrat dan PAN begitu, ya khususnya kalau bicara Partai Demokrat memang selama ini hubungannya selama ini rawan dengan PDIP,” ujar Qodari.

Hubungan dengan Demokrat dan kecilnya suara PDIP di Sumbar lah sesungguhnya yang menjadi alasan besar Mulyadi-Ali melepas hubungan koalisi. Adanya pernyataan Puan hanya menjadi bahan pertimbangan lain dari koalisi Mulyadi-Ali.

“Kesimpulannya ada dua variabel, pertama pernyataan Puan. Kedua bahwa Mulyadi adalah kader Demokrat dan didukung oleh Demokrat dan hubungannya dengan PDIP. SBY dan Bu Mega kita tahu memang kurang bersahabat,” ujar Qodari.

PDIP juga telah mengeluarkan SK dukungan kepada tujuh pasangan calon di Pilkada Sumbar. Ketujuhnya, yakni di Dharmasraya (Sutan Riska Tuanku Kerajaan dan H. D.P. Datuk Labuan Riau), Pelalawan (H. Zukri dan Nasarudin), dan Rokan Hulu (H. Sukiman dan Indra Gunawan).

Serta, Kota Dumai (Hendri Sandra dan Muhammad Rizal Akbar), Bengkalis (Kaderismanto dan Sri Barat), Kepulauan Rokan Hilir (H. Suyatno dan Jamiludin), dan Kepulauan Meranti (H.M. Adil dan H. Asmar).

Pengamat politik Universitas Indonesia, Cecep Hidayat, juga menilai pernyataan Puan kemungkinan besar tak akan memengaruhi paslon PDIP di daerah lain. Pilkada, katanya, merupakan ajang persaingan bagi calon kepala daerah, bukan partai.

“Saya kira tidak terlalu berpengaruh, kalau kita bicara Pilkada ini tidak ada hubungannya sama partai. Bicara pilkada tidak sekongruen dengan Pileg, karena yang kita pilih bukan partai tapi perorangan,” ujar Cecep.

PDIP disebutnya tak akan berpengaruh pada elektoral paslon kepala daerah, baik yang ada di Sumbar atau sekitarnya. Meskipun dukungan partai akan berpengaruh terhadap syarat pencalonan diri seseorang.

“Saya kira tidak begitu (terpengaruh) juga yah, jadi di sini challengenya justru tokoh-tokoh, karena tidak berpengaruh ketika kita memilih di pilkada, kita tidak lihat partai,” ujar Cecep.

Adapun keputusan Mulyadi-Ali yang mengembalikan SK dukungan PDIP juga dinilainya cukup tepat. Meskipun dukungan partai berlambang banteng itu tak akan berpengaruh di Sumbar.

Sebab, Sumbar bukan merupakan basis pendukung dari PDIP. Sehingga pengembalian SK dilihatnya sebagai upaya agar suara pendukungnya tak lari ke paslon lain.

“PDIP termasuk Jokowi tidak bisa memenangkan hati Sumatra Barat, baik suara legislatif maupun suara pilpres. Ini kan dia butuh dukungan politik, Mulyadi dia tahu tanpa PDIP dia bisa menang,” ujar Cecep.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement