REPUBLIKA.CO.ID, BRUSEL -- Uni Eropa menjatuhkan sanksi ekonomi kepada 31 pejabat senior Belarusia, termasuk menteri dalam negeri pada pertengahan September. Sanksi tersebut menyusul ada dugaan kecurangan dalam pemilihan umum (pemilu) pada 9 Agustus lalu, dan menyebabkan demonstrasi besar-besaran di Belarusia.
Presiden Alexander Lukashenko mengklaim kemenangan dalam pemilu. Kemenangan ini memperpanjang 26 tahun kekuasaannya di Belarusia. Sementara, Uni Eropa menyerukan agar Belarusia menggelar pemilu ulang.
"Kami awalnya menyetujui 14 nama, tetapi banyak negara bagian yang merasa itu tidak cukup. Sekarang kami telah mencapai konsensus pada 17 nama lainnya. Mereka adalah pejabat senior yang bertanggung jawab atas pemilu, kekerasan, dan tindakan keras," ujar seorang diplomat Uni Eropa.
Nama-nama pejabat Belarusia dapat berubah sesuai dengan kesepakatan para diplomat yang akan ditetapkan dalam pertemuan pada 21 September. Sanksi mulai berlaku pada 22 September. Lithuania, Latvia, dan Estonia memberlakukan sanksi mereka sendiri terhadap pejabat Belarusia pada akhir Agustus. Lukashenko mengancam akan membalas tindakan jika UE menjatuhkan sanksi terhadap Belarusia.
Belarusia pertama kali mendapatkan sanksi ekonomi pada 2004. Uni Eropa kemudian telah mengurangi sanksi ekonomi terhadap Belarusia pada 2015, sebagai upaya untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan Lukashenko. Uni Eropa telah berhati-hati dan tidak bertindak terlalu cepat dalam menjatuhkan hukuman bagi pejabat Belarusia. Uni Eropa mewaspadai provokasi dan intervensi Rusia terhadap Belarusia.
Belarusia adalah sekutu terdekat Rusia dari semua negara bekas Soviet. Sebelumnya, Rusia menawarkan bantuan militer kepada pemerintah Belarusia untuk mengamankan aksi protes besar-besaran di Belarusia. Kremlin menyatakan, Presiden Vladimir Putin telah berbicara kepada Lukashenko dan menawarkan bantuan militer sesuai dengan pakta militer kolektif jika diperlukan.
Lukashenko dituding telah melakukan kecurangan dalam pemungutan suara. Para penentang Lukashenko mengatakan bahwa penguasa tersebut telah memanipulasi hasil pemungutan suara, karena faktanya dia telah kehilangan dukungan publik.