Selasa 08 Sep 2020 05:17 WIB

Sertifikat Penceramah: MUI Menjaga Umat dan Menjaga Bangsa

Sertifikasi penceramah itu sudah tidak wajib.

Penceramah yang juga Dokter Zaidul Akbar memberikan tausiyah. (Ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Penceramah yang juga Dokter Zaidul Akbar memberikan tausiyah. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Nadjamuddin Ramly, Wakil Sekjen MUI Pusat.

Polemik soal sertifikasi penceramah akhirnya tampaknya bisa tuntas dengan 'soft landing'. Ini artinya tidak galak dan tidak menimbulkan kekhawatiran bagi umat dan para pendakwah.

Kami bersyukur, dengan adanya peringatan atau bisa dikatakan sebuah 'gertakan' dari Sekjen MUI Buya Anwar Abbas yang akan meletakkan jabatan dari MUI bila aturan itu dilaksanakan dengan dipaksakan. Nah, pada hari ini saya melihat 'kakanda' menteri Agama sudah melunak.

Menteri agama, kini saya dengar langsung ketika berdialog di televisi, sudah bicara dengan nada yang anggun dan bijak. Tidak seperti ketika berbicara dengan menteri pemberdayaan aparatur negara. Tjahjo Kumolo, yang tampak emosi dan mencurigai pendakwah --termasuk para penghapal Alquran yang ganteng dan pintar berbahasa Arab sebagai calon penyebar agen teror atau gerakan radikal. Alhamdulillah itu tidak terjadi lagi.

Kini aturannya pun berubah. Penceramah bersertifikat tidak wajib dan tidak ada konsekuensinya jika tak ikut. Disinilah dahsyatnya sentakan Buya Anwar Abbas pada kemarin itu.

Dan sebagai konsekuensi dalam sertifikat yang 'tidak wajib, para petugas di lapangan tidak akan menafsirkan jika para penceramah nantinya harus dan wajib bersertifikat layaknya menggunakan SIM di jalanan. Meraka akan bisa dirazia ketika akan berdakwah. Di sini jelas akan bermasalah sebab Islam mengajarkan berdakwah baik lisan dan perbuatan adalah wajib. Bahkan, bila hanya hafal dan mengerti satu ayat pun harus disampaikan pada orang lain.

Jadi sertifikat wajib yang layaknya sebuah SIM sopir atau pengendara motor,  jika akan diberlakukan pasti hanya akan membuat kegaduhan. Karena, konsekeunsinya jika penceramah tengah atau akan berbicara dapat dihentikan oleh petugas dengan alasan tak punya sertifikat.

Aturan seperti itu pasti akan membatasi ruang gerak mubaligh dalam menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar. Dan ini akan mengulang suasana buruk zaman otoriter (Orde Lama dan Orde Baru) di mana bisa saja petugas keamanan meminta turun atau menghentikan sebuah ceramah. Nah, untungnya kini saya kira tak akan terjadi.

Nah, untuk mengatasi segala imbas kegaduhan yang telah terjadi, kami kira dalam waktu secepatnya harus dibuat sebuah forum silaturrahim MUI dan Kemenag untuk menyamakan visi soal penceramah ini. Para penceramah juga harus disertakan. Kita semua berkumpul untuk melakukan musyawarah seperti makna sila keempat Pancasila: mengambil 'hikmah dalam kebijaksaan dan permusyaratan'. MUI siap mengadakannya.

Ke depan, memang soal atau urusan penceramah, lebih baik serahkan saja kepada MUI dan Ormas Islam untuk meningkatkan standar dan kualitas para penceramah. Jadi seperti pesan Buya Anwar Abbas: jangan negara atau pemerintah yang mengurusnya. Sebab, bila ini dilakukan akan ada tendensi bias soal lain, yakni politik kekuasaan.

Sekali lagi, kini penceramah bersertifikat ini tidak wajib dan tak ada konsekuensinya. Karena, saya bilang akan bagus juga jika soal penceramah bersertifikat Kemenag melakukannya hanya kepada penceramah atau penyuluh agama yang merupakan pegawai negara sipil (PNS).

Dan saya rasa dan ingat, para muballigh non-PNS tak perlu disertifikat, karena mereka juga memiliki wawasan kebangsaan dan InsyaAllah pasti cinta Tanah Air. Nah dalam soal ini kami pun sependapat dan mengacu pada tulisan Buya Anwar Abas yang viral di media sosial. Tulisan beliau yang berjudul: 'Mui Menjaga Umat dan Menjaga Bangsa', patut menjadi renungan kita semua.

Begini tulisan Buya Anwar Abbas selengkapnya:

Tugas kita (MUI) menjaga umat dan menjaga bangsa.Tapi umat yang kita jaga mereka malah melihat dengan penuh rasa curiga.

Sakit dan menyakitkan hal ini tentunya dan terkadang malah benar-benar membuat nafas kita  benar-benar terasa sesak di dalam dada.

Kita tidak butuh apa-apa dari mereka. Kita hanya ingin kewajaran dan perlakuan yang adil dari orang yang merasa dirinya sang penguasa.

Kita tidak mau lembaga kita yang terhormat dan mulia mereka jadikan alat untuk menggebuk dan mengkerangkeng saudara-saudara kita. Mereka para ulama dan dai tersebut tidak butuh uang dan bantuan dari negara. Mereka hanya ingin berbuat dan berkontribusi untuk kemajuan  bangsa dan negaranya.

Untuk itu menurut mereka amar ma'ruf nahi mungkar harus  ditegakkan dan sikap serta pandangan seperti  itu sudah menjadi darah daging dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Lalu mereka yang ikhlas dan tulus dalam beramal seperti itu akan mereka kekang seperti kuda ?

Kuda di kekang tentu akan diam saja, tapi kalau dai dan ulama yang akan dikekang itu pertanda hidup umat dan rakyat akan sengsara dan merana.

                               Ciputat, 5 september 2020. Jam 18.00 sore.

                                          ******

Jadi, itulah yang membuat kami terenyuh dan tergerak bersikap dalam soal penceramah bersertifikat. Apa yang ditegaskan Buya Anwar Abbas, mirip sekali dengan sikap Buya Hamka di masa lalu, ketika beliau tidak mau menukar prinsipnnya meski ada desakan yang kuat dari pihak lain yang tengah menggenggam kekuasaan.

Jadi itulah sikap kami!

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement