REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman mengungkapkan, prosedur yang harus dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengambilalih perkara baik di Kejaksaan Agung ataupun Kepolisian. Pukat menilai, lembaga antirasuah sudah memenuhi syarat bila mengambil alih perkara Djoko S Tjandra yang juga menyeret Jaksa Pinangki Sirna Malasari.
"Menurut saya untuk menuntaskan kasus ini. KPK perlu untuk ambil alih. Caranya , menyampaikan ke Kepolisian dan Kejaksaan. Lebih khusus ke Kejaksaan," kata Zaenur kepada Republika, Senin (7/9).
Adapun, prosedur pengambilalihan yakni KPK menyampaikan pemberitahuan bahwa, KPK mengambil alih kasus Djoko Tjandra tersebut. Nantinya, bila sudah diambil alih baik Kepolisian dan Kejaksaan wajib menyerahkan tersangka beserta alat bukti, berkas perkara.
"Itu diwajibkan oleh UU, dan kemudian kasus tersebut menjadi tanggung jawab KPK," tuturnya.
Lebih lanjut, Zaenur menjelaskan, pengambilalihan perkara oleh KPK sudah diatur dalam UU. Baik dalan UU 30 Tahun 2002 maupun dalam UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK.
"Jadi memang KPK itu berwenang untuk mengambil alih penyidikan maupun penuntutan perkara korupsi dari Kejaksaan maupun dari Kepolisian," tuturnya.
Sebuah perkara dapat diambil alih oleh KPK bila meemenuhi beberapa kriteria. Zaenur menilai Kasus Djoko Tjandra sudah memenuhi kriteria sebuah perkara untuk diambil alih karena berpotensi adanya konflik kepentingan.
"Bahkan masyarakat menduga-duga bagaimana penanganan yang dilakukan Kepolisian dan Kejaksaan. Bagaimana transparansinya. Khususnya kasus di Kejaksaan masyarakat memang melihat tidak transparan," tutur Zaenur.
"Apa iya Pinangki beraksi sendiri mengajukan proposal sebesar 100 juta dolar AS. Apa iya dengan jabatan rendah Pinangki mempunyai kekuasaan yang besar bisa mengatur sebuah perkara. Menurut saya potensi konflik kepentingan sangat tinggi. Dan kemungkinan sangat tinggi pelaku-pelaku lain tidak bisa diselesaikan," tambahnya.