REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan keprihatinannya terhadap para pengungsi Rohingya. Para pengungsi Rohingya kembali terdampar di pesisir pantai di Aceh tepatnya di pantai Ujong Blang, Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe pada Senin (7/8).
"Mereka nyatanya, masih rela mengambil risiko demi mencari keselamatan. Pengakuan mereka, sekali lagi, membuktikan betapa berbahayanya perjalanan kapal ini. Mereka yang bertahan mengatakan puluhan rekan mereka telah kehilangan nyawa saat masih terombang-ambing di laut," ujar Usman.
Amnesty meminta pemerintah pusat membantu pemerintah daerah dalam menangani masalah ini. Pemerintah pusat, menurut Usman harus memastikan bahwa mereka yang mendarat dipenuhi kebutuhannya termasuk makanan, tempat tinggal, dan layanan kesehatan dasar yang meliputi perlindungan dari wabah Covid-19.
Selain itu, Usman mendesak Indonesia menginisiasi kerja sama kawasan soal pengungsi Rohingya. "Sekarang kerja sama kawasan makin dibutuhkan, terutama untuk melakukan pencarian dan penyelamatan pengungsi yang masih berada di laut. Kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera menginisiasi dialog kawasan. Lambannya aksi pemimpin kawasan bisa mengubah lautan menjadi pemakaman massal pengungsi Rohingya," tegasnya.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI Teuku Faizasyah mengaku belum mendapatkan hasil dari rapat antara kementerian dan lembaga yang mengurus masalah ini. "Hal ini diputuskan lintas kementerian dan lembaga, Kemlu salah satunya. Saya belum mendapat feedback dari pembahasan tersebut," ujarnya.
Melalui situs resminya, UNHCR menyambut baik turunnya sekitar 300 pengungsi Rohingya di pantai utara Aceh, Indonesia. Setelah bertahan sekitar tujuh bulan di laut dalam kondisi putus asa, sejumlah yang tidak diketahui membutuhkan perhatian medis. Di antara kelompok itu, dua dari tiga adalah perempuan dan anak-anak. Lebih dari 30 diperkirakan tewas dalam perjalanan.
Sekitar 330 pengungsi Rohingya telah memulai perjalanan di Cox's Bazar, Bangladesh, pada Februari. Cobaan berat mereka telah diperpanjang oleh keengganan kolektif negara untuk bertindak selama lebih dari enam bulan. Demikian pula, Proses Bali, sebagai satu-satunya mekanisme koordinasi regional yang ada yang dapat mengumpulkan negara-negara tentang pergerakan maritim tersebut, telah gagal memberikan tindakan regional yang komprehensif untuk menyelamatkan nyawa melalui penyelamatan dan pendaratan.
Kelompok itu telah berulang kali mencoba turun selama lebih dari 200 hari di laut, tetapi tidak berhasil. Pengungsi telah melaporkan bahwa puluhan orang meninggal sepanjang perjalanan.
"UNHCR dan lainnya telah berulang kali memperingatkan konsekuensi yang mengerikan jika pengungsi di laut tidak diizinkan untuk mendarat dengan cara yang aman dan bijaksana. Pada akhirnya, kelambanan selama enam bulan terakhir berakibat fatal," kata UNHCR dalam pernyataannya.