REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI mengadakan sosialisasi daring tentang gratifikasi, Selasa (8/9). Kegiatan ini ditunjukkan kepada para Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintahan Kota Malang.
Koordinator Program Pengendalian Gratifikasi, Direktorat Gratifikasi KPK RI, Sugiarto Abdurrahman, menyatakan, gratifikasi sebenarnya berhimpitan dengan adat budaya ketimuran. Hal ini karena sering dipahami sebagai nilai penghormatan dan sisi kemanusiaan.
"Itu wajar, tapi apabila tidak pada posisi yang tepat dan benar, ini yang menjadi ruang serta bibit korupsi," kata Sugiarto.
Menurut Sugiarto, kebiasaan memberi dan meminta akan memberi kecenderungan pintu awal pada gratifikasi dan korupsi. Oleh sebab itu, kebijakan larangan gratifikasi diperlukan dalam kehidupan. Sebab, larangan ini akan meminimalisasi, bahkan menghilangkan konflik interes.
Sugiarto berharap, UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Gratifikasi dapat menjadi pedoman setiap pegawai negeri dan penyelenggara negara. "Karena dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya," ucapnya.
Wali Kota Malang Sutiaji menekankan, kebiasaan yang tidak baik seperti gratifikasi sebenarnya harus ditinggalkan. Pasalnya, selama ini gratifikasi bisa terjadi karena merasa sudah menjadi kebiasaan. Hal ini berarti sikap demikian telah dianggap benar di masyarakat.
"Ini yang harus dievaluasi dan dicermati. Pedomannya adalah aspek regulasi dan hukum," ungkapnya.
Menurut Sutiaji, kontrol yang esensi terhadap perilaku gratifikasi terdapat pada Tuhan. Masyarakat dan para ASN harus sadar adanya pengawasan dari Tuhan, terlepas ada atau tidaknya hukuman. Prinsip ini dapat menjadi pegangan dan pedoman moral untuk seluruh masyarakat.