REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Jampidsus), Febrie Adriansyah menepis dugaan adanya keterlibatan mantan Jamintel Jan Samuel Maringka dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam skandal hukum Djoko Sugiarto Tjandra. Febrie juga membantah tudingan tentang adanya aliran uang suap kepada tersangka jaksa Pinangki Sirna Malasari yang mampir ke kantong Jaksa Agung dan Maringka.
"Enggak ada. Sampai sekarang, nggak ada (dugaan keterlibatan Maringka dan Burhanuddin)," kata Febrie di Gedung Pidana Khusus (Pidsus), Kejakgung, Jakarta, Selasa (8/9).
Sementara Jampidsus Ali Mukartono mengungkapkan, pertanyaan publik selama ini yang curiga tentang adanya keterlibatan dua pejabat tinggi di Korps Adyaksa tersebut, pun sempat dibahas dalam gelar perkara bersama KPK, dan Bareskrim, Selasa (8/9). Tetapi Ali, tak bersedia membeberkan apa hasil gelar perkara bersama saat pembahasan Maringka, dan Burhanuddin dalam skandal tersebut.
"Itu memang dibahas. Ada keluar, entah dari BAP, atau dari mana. Tetapi materinya, tidak perlu saya sampaikan. Nanti di pengadilan akan muncul itu," ujarnya.
Sebelumnya Pemeriksaan Komisi Kejaksaan (Komjak), terungkap komunikasi antara Maringka, dan Djoko saat masih buron. Ketua Komjak Barita Simanjutak kepada Republika.co.id, Senin (7/9) mengatakan, institusinya memeriksa Maringka, pada Kamis (3/9). Barita mengungkapkan, pengakuan Maringka, yang berkomunikasi dengan Djoko. Komunikasi tersebut, terjadi dua kali, pada 2 dan 4 Juli 2020.
Pengakuan Maringka, kata Barita, komunikasi dengan Djoko itu, pun dilakukan atas perintah Burhanuddin. Maringka, juga melaporkan hasil komunikasi dengan Djoko itu ke Burhanuddin. Akan tetapi, Barita melanjutkan, Maringka menjelaskan komunikasi dengan Djoko tersebut, sebagai fungsi intelijen. Masih menurut Barita, Maringka, pun dalam pengakuannya di Komjak, menjelaskan komunikasi dengan Djoko tersebut, tak terkait dengan skandal yang sekarang terkuak.
Justru sebaliknya, kata Barita, Maringka menerangkan perintah Burhanuddin agar menghubungi Djoko waktu itu, untuk meminta terpidana Bank Bali 1999 tersebut, kembali ke Indonesia dan menjalani hukuman penjara. Djoko, adalah terpidana korupsi Bank Bali 1999 yang pernah divonis dua tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA) 2009.
"Intinya adalah memang itu dilakukan dalam rangka operasi intelijen untuk memerintahkan supaya oknum terpidana buron ketika itu, Djoko Tjandra, menjalani dan melaksanakan putusan pengadilan (MA) dan dieksekusi," kata Barita.
Maringka, saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (8/9), membenarkan hasil pemeriksaan di Komjak. Maringka menerangkan, tak ada sangkutpaut antara kerjanya sebagai Jamintel, dengan aksi belakang layar tersangka jaksa Pinangki, dalam upaya penerbitan fatwa MA untuk Djoko Tjandra. Karena menengok waktu terjadinya komunikasi antara dirinya dengan Djoko, kata dia, dilakukan setelah skandal tersebut terungkap.
"Jadi harus dipahami, tindakan yang terjadi sebelum komunikasi (2 dan 4 Juli), bukanlah kegiatan dari tim kami (fungsi intelijen). Dan kami, sudah melaporkan kepada pimpinan (Burhanuddin) sebagai user dari fungsi intelijen," terang Maringka, Selasa (8/9).
Meskipun Maringka mengaku tak terlibat, akan tetapi Burhanuddin mencopot jabatannya sebagai Jamintel, pada 30 Juli, dan kembali melantiknya sebagai staf ahli Jaksa Agung bidang perdata dan TUN, pada Rabu (12/8).
Terkait hasil pengakuan itu, Direktur JAM Pidsus Febrie (8/9), pernah menjelaskan ada atau tidaknya delik pidana, atau indikasi korupsi yang dilakukan dalam komunikasi Maringka dengan Djoko, tergantung dari alat bukti dan proses penyidikan yang akurat. Kata Febrie, keterlibatan seseorang dalam dugaan korupsi tak cukup berdasarkan hasil pemeriksaan institusi pengawasan, seperti Komjak.
Sampai saat ini, kata Febrie penyidikan skandal Djoko Tjandra di JAM Pidsus, belum menemukan bukti adanya keterlibatan pidana para petinggi Korp Adhyaksa. "Kita tidak bisa melebihi alat bukti, dan kita tidak bisa berasumsi," kata Febrie.
Skandal Djoko Tjandra, menyeret jaksa Pinangki Sirna Malasari sebagai tersangka suap dan gratifikasi. Dikatakan, Pinangki menerima uang 500 ribu dolar AS (Rp 7,5 miliar), dari Djoko. Uang tersebut, diberikan lewat tersangka lainnya, Andi Irfan yang diketahui sebagai politikus dari Nasdem. Uang tersebut, diyakini sebagai dana panjar untuk Pinangki dan Andi Irfan, mengupayakan penerbitan fatwa bebas MA untuk Djoko.