REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai NasDem Taufik Basari membantah tudingan yang menhebjrrevisi Undang-Undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan barter politik. Taufik mengatakan, revisi memang harus dilakukan.
Taufik menolak mengaitkan adanya RUU MK ini dikaitkan dengan Undang-undang yang kini tengah dipersoalkan, misalnya RUU Cipta Kerja maupun UU KPK. "Revisi UU MK harus ada karena akibat dari Putusan MK," kata Taufik Basari dalam diskusi yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen yang juga disiarkan daring, Selasa (8/9).
Taufik menyebut revisi UU MK akibat Putusan MK sudah sejak DPR RI periode 2014-2019. Dengan demikian, sebelum ada RUU yang dipermasalahkan seperti UU KPK dan RUU Cipta Kerja, perubahan dalam UU MK sudah ada, namun belum sempat dibahas.
Menurut Taufik, Putusan-Putusan MK yang menjadi rujukan revisi UU MK antara lain Putusan MK nomor 48/PUU-IX/2011 yang membatalkan dan menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap pasal 45A dan pasal 57 ayat (2) huruf a sehingga pasal-pasal tersebut dihapus melalui revisi UU MK.
Adapun Putusan MK nomor 7/PUU/-XI/2013 yang memutuskan Pasal 15 ayat (2) huruf d inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai "berusia paling rendah 47 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada saat pengangkatan pertama" sehingga dilakukan penyesuaian dengan menyesuaikan pertimbangan-pertimbangan Putusan MK.
"Lalu Putusan MK nomor 1-2/PUU-XII/2014 yang membatalkan keseluruhan UU nomor 4 tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU nomor 1 tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU nomor 24 tahun 2003 tentang MK menjadi UU," ujarnya.
Selain itu menurut dia Putusan MK nomor 34/PUU-X/2012 yang pada pokoknya memutuskan bahwa Pasal 7A ayat (1) mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang disertai frase "dengan usia pensiun 62 tahun bagi Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti", sehingga dilakukan perubahan dengan mengikuti isi Putusan MK tersebut. Politikus Nasdem itu pun mengatakan, tudingan bahwa revisi UU MK sebagai barter politik merupakan bentuk merendahkan martabat institusi MK.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Demokrat Benny Kabur Harman pun meyakini ada kepentingan di balik cepatnya pembahasan RUU itu hingga disahkan. "Kalau undang-undang MK ini cepat-cepat dibikin dan disahkan, maka pasti ada kepentingan nggak usah dibantah itu, pasti ada kepentingan, maka pertanyaan lanjutannya siapa yang berkepentingan kan gitu," kata Benny dalam diskusi Koordinatoriat Wartawan Parlemen yang disiarkan secara daring pada Selasa (8/9).
Benny pun menjelaskan cepatnya proses pembahasan RUU MK itu. Substansi revisi berkaitan dengan masa jabatan hakim mahkamah konstitusi, usia berapa hakim MK diterima dan usia berapa dia diberhentikan. Dalam RUU yang diajukan oleh DPR, usia minimumnya 60 tahun, usia maksimumnya 70 tahun. Pemerintah kemudian mengubah menjadi 55 tahun dan disepakati fraksi mayoritas di Parlemen.
Kemudian, dalam RUU yang diajukan DPR, masa jabatan hakim tetap 5 tahun yang bisa dipilih kembali setelah dievaluasi oleh instansi yang mengirim mereka menjadi hakim MK. Namun, kata Benny usulan ini ditolak oleh pemerintah yang juga diikuti fraksi mayoritas pendukung pemerintah.
"Pastilah teman-teman fraksi pendukung pemerintah di parlemen menyetujui itu, maka dengan demikian tidak ada masa jabatan Hakim MK, masuk usia 55, pensiun 70 tahun," ujar Benny.
Kemudian, yang menuai kontroversi, RUU yang disepakati itu ternyata berlaku untuk hakim MK yang saat ini masih menjabat. Sehingga, para hakim yang menjabat saat ini sudah bisa 'menikmati' masa jabatan yang lebih panjang.
"Kalau sudah lebih dari 15 tahun maka harus dipensiunkan dan setelah kita cek, (hakim MK yang menjabat) tak ada yang lebih dari 15 tahun. Dengan demikian maka sampai tahun 2024 tidak akan ada hakim MK yang dipensiunkan dan tidak ada yang berhenti," jelas Benny.