Kamis 10 Sep 2020 12:27 WIB

Pengamat: Pengembalian Wewenang Pengawasan Bank tak Mendesak

Restrukturisasi perbankan melalui Peraturan OJK dinilai telah berjalan efektif

Pengamat Ekonomi Faisal Basri
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Pengamat Ekonomi Faisal Basri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Senior Faisal Basri menilai tidak adanya urgensi pengembalian kewenangan pengawasan perbankan ke Bank Indonesia (BI) di saat pandemi. Terlebih lagi saat ini kondisi sektor perbankan masih dalam kondisi stabil meskipun diguncang pelemahan ekonomi.

Saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) tengah berinisiatif melakukan revisi Undang-undang Bank Indonesia (BI). Dalam RUU Bank Indonesia ini, kewenangan pengawasan sektor perbankan akan dikembalikan ke Bank Indonesia dari yang saat ini dimiliki oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

 

"Ini bukan solusi yang jitu. Di OJK ada yang namanya ex-officio dari BI dan pemerintah, OJK ada unsur BI dan pemerintah, jadi kalau pindah cuma pindah atap, orangnya sama semua. Kok yang seperti ini diurusi di tengah pandemi," ujar Faisal Basri dalam talkshow daring 'Seruput Kopi' pada Rabu (9/9).

Padahal menurut Faisal, saat ini kondisi perbankan masih cukup stabil. Tercatat rasio kredit macet (Non Performing LOna/ NPL) perbankan pada Juni 2020 naik menjadi 3,11 persen dari 2,53 persen di Desember 2019. Meskipun terus mengalami peningkatan, Faisal menilai hal ini merupakan hal yang wajar di tengah pandemi.

Adanya restrukturisasi perbankan melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) juga dinilai telah berjalan efektif, sehingga sejauh ini perbankan belum terkena imbas yang besar dari pelemahan ekonomi. Hal itu tentu saja akan berbeda jika pandemi berlangsung jauh lebih lama.

"Ini masih lebih rendah dari NPL 2009 waktu krisis finansial, peningkatan ini wajar karena ada pandemi. Artinya pemerintah harus percaya diri apa yang dilakukan OJK sudah on the right track," kata Faisal.

Keberadaan OJK, kata Faisal, berguna untuk mencegah terjadinya hal yang sama yang pernah terjadi di masa Orde Baru. Sehingga ia tidak melihat urgensi dari pengembalian wewenang tersebut ke BI. "Ini tidak menjadi solusi, yang penting aturan lebih seksama, komprehensif, efektif untuk membuat seluruh sendi dalam ekonomi berperan secara optimal," ujarnya.

Selain itu, adanya revisi UU BI hanya akan mengganggu independensi bank sentral selaku pemegang kebijakan moneter. Ia mengibaratkan kebijakan pemerintah sebagai gas, sedangkan moneter sebagai rem. Pemerintah yang fokus pada spending (belanja) akan direm oleh BI yang berupaya untuk menstabilkan inflasi dan nilai tukar rupiah.

Apalagi, independensi BI bukan tanpa batas. Karena Gubernur dan pejabat senior bank sentral harus melalui fit and proper test dan dipilih oleh DPR. "Kalau ada revisi UU BI, saya takutnya tidak ada check and balances," kata Faisal.

Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa pemerintah belum membahas revisi UU BI tersebut karena Pemerintah secara tegas menilai bahwa kebijakan moneter harus tetap kredibel, efektif dan independen. Menurutnya, BI dan pemerintah telah bersama-sama bertanggung jawab menjaga stabilitas dan kepercayaan ekonomi.

Saat ini Pemerintah sedang fokus membahas reformasi sistem keuangan. Menkeu menjelaskan, penataan dan penguatan sistem keuangan yang menjadi bagian dari reformasi akan mengedepankan prinsip tata kelola, pembagian tugas dan tanggung jawab dari tiap lembaga secara jelas. "Dan ada mekanisme check and balance yang memadai," ujar Menkeu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement