Kamis 10 Sep 2020 23:37 WIB

Rasisme Anti-Islam di Jerman Masih Hantui Anak-Remaja

Rasisme anti-Islam di Jerman masih jadi ancaman bagi anak dan remaja.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nashih Nashrullah
Rasisme anti-Islam di Jerman masih jadi ancaman bagi anak dan remaja. Bendera Jerman
Foto: chaldean.org
Rasisme anti-Islam di Jerman masih jadi ancaman bagi anak dan remaja. Bendera Jerman

REPUBLIKA.CO.ID, JERMAN— Bullying dan segala jenis serangan rasial terhadap anak-anak dan remaja sudah jelas akan berdampak luas bagi masa depan si korban. Jika anak-anak atau remaja ingin tumbuh aman, upaya yang perlu dilakukan adalah melawan ketidakadilan ini dengan membongkar sistem afiliasi.

Melanie Christina Mohr, seorang penulis asal Jerman mengatakan, anak-anak dan remaja Muslim adalah pihak yang banyak menerima ketidakadilan ini, dan tempat dimana mereka mengalami rasisme adalah sekolah. 

Baca Juga

Seringkali karakteristik eksternal, seperti pakaian sang anak, orang tua, atau bahkan kerabat. Nama juga menjadi topik yang banyak dijadikan bahan ejekan, karena dianggap berbeda dengan kelompok mayoritas.

Ucapan bahwa imigran seharusnya berterima kasih karena diizinkan berada di Jerman, hingga perbedaan penampilan fisik mulai dari alis yang lebih lebat, warna kulit yang lebih gelap hingga nama yang berbeda dibanding kebanyakan teman sebayanya hanya beberapa alasan maraknya diskriminasi dan marginalisasi yang terjadi.

Anak-anak dan remaja yang didiskriminasi dan dikucilkan dalam kehidupan sehari-hari harus membawa penderitaan ini ke mana-mana seperti sebuah paket yang tidak terlihat. Beban tak kasat mata ini tentu akan terasa berbeda pada masing-masing anak, mengingat berbedanya reaksi dan toleransi terhadap serangan rasial yang mereka terima.

"Yang jelas, luka-luka ini, baik psikologis maupun fisik, memiliki konsekuensi. Antara lain, menyebabkan anak-anak dan remaja memilih untuk menarik diri dan mengisolasi diri mereka sendiri dibanding berinteraksi dengan dunia luar. Pengembangan motorik dan psikologis juga akan terhambat, bahkan rusak," tulis Mohr yang dikutip di Qantara, Kamis (10/9).

Dalam banyak kasus, anak-anak dan remaja yang mengalami diskriminasi dan pengucilan bahkan tidak bisa benar-benar menggambarkan apa yang baru saja terjadi pada mereka. Banyak dari mereka yang terlalu takut untuk memberitahu seseorang atau melaporkan serangan tersebut, karena takut akan lebih dikucilkan dan distigmatisasi sebagai korban.

Mohr mengatakan, anak-anak dan remaja seringkali tidak dapat menafsirkan serangan rasisme ini, dan tidak tahu bagaimana seharusnya respons yang mereka berikan. Diskriminasi kadang disalahartikan sebagai lelucon sehingga banyak korban yang memilih untuk diam. 

Dia berpendapat, peran pengajar harus disertakan untuk menghadapi situasi seperti itu agar dapat membantu dan membuka dialog untuk menegaskan bahaya rasisme dan diskriminasi. Dukungan dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah hingga masyarakat juga perlu dibentuk untuk memberikan mereka pelatihan dan melengkapi mereka strategi untuk melawan rasisme anti-Muslim atau fenomena rasis lainnya. 

"Anak-anak dan remaja harus diberi alat untuk mengembangkan rasa percaya diri untuk dapat menjalani hidup dengan otonomi yang ada. Masyarakat juga perlu lebih aktif menegakkan keadilan ras bagi anak-anak dan remaja," tulisnya. 

Terdapat banyak situasi di mana anak-anak dan remaja menjadi sasaran serangan rasial dan membutuhkan bantuan sesegera mungkin. Membantu mencegah rasisme secara tidak langsung meningkatkan kesadaran masyarakat atas bahaya dari rasisme. 

Ini juga berarti mulai untuk berani mengambil sikap dan vokal di situasi yang tidak seharusnya terjadi, termasuk rasisme, bukan justru berpura-pura tidak mendengar atau acuh.  "Bagaimanapun, rasisme anti-Muslim adalah masalah makrososial dan melindungi anak-anak merupakan tugas makro sosial," kata dia.  

Mohr mengatakan, sistem afiliasi dalam masyarakat harus dibongkar, dan solidaritas harus ditunjukkan dengan melindungi hak anak-anak dan remaja untuk mendapat keadilan, terlepas dari ras dan agama mereka.

Di bawah tagar #HasshatkeinHerz (#hatehasnoheart), Hari Melawan Rasisme anti-Muslim yang diluncurkan pada 1 Juli 2019 untuk menandai kematian Marwa El-Sherbini, seorang wanita Muslim Mesir yang tinggal di Jerman, meninggal karena ditikam 18 kali oleh seorang imigran etnis Jerman.

Sebelum dibunuh, El-Sherbini juga sempat mendapatkan pelecehan secara verbal. Kampanye tersebut bertujuan untuk mengingatkan orang-orang bahwa kebencian ada di mana-mana dan harus dengan tegas dihentikan dengan segala cara yang kita miliki. 

"Semua anak dan remaja memiliki hak yang sama atas kesetaraan, integritas, pendidikan, jaminan sosial, kebebasan berbicara, informasi, proses hukum, perlindungan dari kekerasan dan, tentu saja, hak untuk bermain dan waktu senggang, tanpa harus menerima serangan rasis," ujar Mohr.

Sumber: https://en.qantara.de/content/protecting-children-from-anti-muslim-racism-stand-up-to-the-hate 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement