Jumat 11 Sep 2020 10:46 WIB

Peneliti AS Kaji Tiga Obat Antivirus untuk Lawan Covid-19

Galidesivir, remdesivir, dan favipiravir biasa dipakai mengobati penyakit virus lain.

Rep: Febryan A/ Red: Reiny Dwinanda
Obat-obatan (Ilustrasi). Galidesivir, remdesivir, dan favipiravir yang sebelumnya telah dipakai untuk mengobati penyakit infeksi virus lain atau telah diuji untuk terapi antivirus kini diteliti untuk melawan Covid-19..
Foto: Republika/Prayogi
Obat-obatan (Ilustrasi). Galidesivir, remdesivir, dan favipiravir yang sebelumnya telah dipakai untuk mengobati penyakit infeksi virus lain atau telah diuji untuk terapi antivirus kini diteliti untuk melawan Covid-19..

REPUBLIKA.CO.ID, ORLANDO -- Para peneliti di University of Florida (UF), Amerika Serikat (AS), sedang mempelajari tiga obat antivirus untuk menyembuhkan pasien Covid-19. Dana yang disediakan untuk penelitian ini mencapai dua juta dolar AS atau sekitar Rp 30 miliar.

Obat yang diteliti itu adalah galidesivir, remdesivir, dan favipiravir. Ketiganya telah disetujui otoritas federal AS untuk mengobati penyakit infeksi virus lain atau telah diuji untuk terapi antivirus.

Baca Juga

"Kami memilih meneliti efektivitas obat ini dalam melawan Covid-19 karena mereka paling potensial untuk aktivitas antivirus spektrum luas," kata Profesor Ashley Brown, dilansir Fox News, Kamis (10/9).

Brown yang merupakan profesor di UF College of Medicine dan associate professor di UF College of Pharmacy mengatakan, ketiga obat itu diteliti karena "dikenal sebagai penghambat polimerase nukleosida (NUC)". Menurut Brown, NUC bekerja dengan cara mengganggu proses replikasi virus.

Akhir Agustus lalu, FDA AS memperluas ruang lingkup persetujuan penggunaan darurat remdesivir sebagai obat yang diberikan untuk pasien rumah sakit yang dicurigai atau telah positif Covid-19. Remdesivir dan galidesivir telah menunjukkan aktivitas penting dalam menekan virus, sementara favipiravir kurang efektif.

Favipiravir telah dipakai untuk mengatasi influenza di Jepang.  Galidesivir awalnya ditujukan sebagai obat hepatitis C, tapi tampak ampuh juga untuk Ebola dan virus Zika.

"Kami ingin menentukan rejimen takaran yang menghasilkan pemulihan tercepat dan toksisitas paling rendah bagi pasien," kata Jürgen Bulitta PhD, seorang profesor farmakoterapi dan penelitian translasi di College of Pharmacy. Dia juga menjabat sebagai Ketua Perry A Foote Eminent Scholar di College of Pharmacy.

Brown berharap, terapi tersebut dapat diberikan secara intravena bagi mereka yang "telah mengembangkan Covid-19 sepenuhnya" atau diberikan sebagai terapi oral kepada orang yang dites positif. Penelitian sedang dilakukan di UF Institute for Therapeutic Innovation di Orlando, bagian dari departemen kedokteran di perguruan tinggi tersebut. The UF Clinical and Translational Science Institute mendanai penelitian ini sebanyak dua juta dolar AS.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement