REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Angkasa Pura II melakukan penguatan bisnis pergudangan kargo yang selama ini belum tergarap dengan baik untuk menjaga kinerja pendapatan selama masa pandemi Covid-19. Direktur Komersial AP II Ghamal Peris Aulia dalam pernyataan di Jakarta, Jumat (11/9), mengatakan salah satu terobosan dalam pengelolaan gudang kargo adalah melakukan klustering untuk kegiatan komersil.
"Fokus kita dalam bisnis kargo di masa depan, yaitu memiliki sistem pengelolaan gudang kargo berbasis teknologi, kemampuan melakukan tracking kargo dan laporan real-time," katanya.
Ghamal menambahkan upaya lain dari perseroan adalah dengan mendapatkan pengelola gudang kargo yang lebih kredibel. Fokus tersebut juga didukung dengan adanya integrasi, mengandalkan perangkat lunak, aplikasi dan hal lainnya, yang dapat mengatur hingga kegiatan terkecil, seperti sistem racking dan roller.
Ia memastikan perbaikan terhadap sistem pergudangan ini dapat meningkatkan produktivitas hingga 30 persen yang dapat mempercepat pelayanan kepada konsumen. Sistem tersebut, tambah dia, ikut mendukung kelancaran laporan yang bersifat real-time terutama yang terkait dengan pelaporan finansial.
Saat ini, perseroan telah mengundang pengelola kargo internasional dan nasional untuk berkompetisi dalam pengelolaan cluster 2 lini 1 yang luasnya mencapai 16.000 meter persegi. "Sejauh ini sudah cukup banyak pengelola kargo yang menyatakan minatnya. Kami akan memastikan bahwa bandara sekelas Soekarno Hatta dikelola oleh pemain kargo yang kredibel," kata Ghamal.
Melalui model bisnis sistem cluster ini, SLA tiap pengelola dapat dikontrol dengan lebih baik, sehingga target pendapatan kargo dapat naik 100 persen pada akhir 2021.
Sebelumnya, Angkasa Pura II pernah bekerja sama dengan beberapa operator gudang kargo untuk layanan bisnis pergudangan. Namun, waktu itu terdapat ketidakseragaman dalam kontribusi pendapatan masing-masing operator dan penanganan bisnis racking masih dilakukan secara manual serta belum sesuai standar.
Selain itu, sistem pelaporan data produksi serta pendapatan yang belum real-time, dan tracking barang dengan barcode yang belum berjalan, menyebabkan ketepatan pelaporan tidak maksimal.