REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Christiaan Snouck Hurgronje kembali ke Leiden, Belanda, setelah misinya (terpaksa) selesai di Makkah. Kasus pembunuhan atas Charles Huber membuatnya sulit untuk kembali ke Tanah Suci umat Islam itu, meskipun dia tak terbukti terlibat. Bagaimanapun, ia tetap meneruskan komunikasi dengan informan-informannya selama di kota kelahiran Nabi Muhammad SAW itu.
Di antara mereka ialah Raden Aboe Bakar Djajadiningrat, seorang pemuda keturunan ningrat Pandeglang. Pelajar di Masjid al-Haram itu beberapa kali mengirimkan surat dalam bahasa Arab kepada sosok yang dikenalnya sebagai Abdul Ghaffar itu. Usainya misi di Makkah tak kemudian memutus gairah penelitian Christiaan terhadap Muslimin di Hindia Belanda (nusantara). Atas inisiatifnya sendiri, pada 1 April 1889 ia berlayar menuju Penang (Malaysia). Dari sana, ia meneruskan langkah ke Aceh, hingga tiba di sekitar istana Kesultanan Aceh, Keumala.
Dalam suratnya kepada Jenderal van der Maaten, ia menyebutkan alasannya mengamati Aceh. Baginya, wilayah itu adalah tempat terkemuka di antara sasaran-sasaran penelitian. Selama di Makkah pun, ia telah mengenal orang-orang Aceh dari dekat. Pengalaman itu, menurut Christiaan, dimiliki tak ada seorang Eropa lain pun kecuali dirinya. Seluruh hasil pengamatannya di Aceh diperuntukkan kepentingan Belanda dalam upaya memenangkan pertempuran.
Namun, pemerintah kolonial memintanya ke Batavia (Jakarta). Sejak Juli 1889, orientalis tersebut lantas memulai tugas baru, memata-matai Muslimin nusantara. Jawa Barat dan Jawa Tengah menjadi daerah pertama yang diamatinya. Perjalanan itu dilakukannya pada 16 Juli-19 Desember 1889. Berbagai kota disambanginya, antara lain, Sukabumi, Bandung, Garut, Cirebon, Ciamis, Tegal, Pekalongan, Bumiayu, Purbalingga, dan Cianjur.
Garut menjadi lokasi yang cukup istimewa. Di sanalah Christiaan menuliskan laporannya untuk Batavia. Jajat Burhanudin dalam Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Politik Muslim dalam Sejarah Indonesia (2012) mengatakan, dari Garut inilah, pengetahuan sang orientalis terhadap Islam lokal kian terbuka. KH Hasan Mustapa (1852- 1930), yang dikenalnya sejak masih di Makkah, menjadi informan utamanya sekaligus membantunya dalam menjalankan misi.
Sejak kembali dari menuntut ilmu di Tanah Suci, Kiai Hasan menjadi alim terkemuka di Garut. Seperti termaktub dalam karyanya, Gendinga, ulama yang juga penyair ini mengatakan, Abdul Ghaffar (yang adalah nama samaran Christiaan Snouck Hurgronje) telah memintanya untuk mengantarkannya, di tengah kesibukannya sebagai seorang ulama (kikijaianan), berkeliling jauh (atrok-atrokan) ke seantero Jawa.
Dari perkawanannya dengan Kiai Hasan, Christiaan memahami bagaimana ajaran, ideologi, dan ilmu-ilmu Islam ditransmisikan dari Makkah ke nusantara. Begitu pula, bagaimana akhirnya kaum ulama berpengaruh dalam kehidupan keberagamaan di kepulauan ini.
Atas rekomendasi Christiaan, pemerintah kolonial lantas mengangkat Kiai Hasan Mustapa sebagai kepala penghulu di Kutaraja, Aceh, pada 1893. Di Serambi Makkah, ulama Sunda itu menjalin hubungan dengan rakyat Aceh, termasuk Teuku Umar, seorang uleebalang yang sempat bekerja sama dengan Belanda, tetapi lantas berbalik melawan rezim kolonial itu. Dua tahun kemudian, lagi-lagi atas masukan Christiaan, pemerintah kolonial menunjuk sang kiai sebagai kepala penghulu di Bandung.
Devide et impera
Belanda berambisi besar untuk menguasai tiap inci nusantara. Dengan berakhirnya Perang Padri di Minangkabau pada 1838, visi kolonial itu agaknya menuju fisibel di Sumatra. Namun, Aceh menjadi tantangan serius. Setidaknya sejak paruh kedua abad ke-19, Belanda terus menggempur wilayah itu.
Menurut Ahmad Mansur Surya negara dalam Api Sejarah (2009), Perang Aceh meletus setelah adanya perjanjian hubungan diplomatik antara Kesultanan Aceh dengan konsul Amerika Serikat di Singapura. Lantas, kesepakatan itu diikuti pula antara Aceh dan Italia.
Kondisi demikian, lanjut Suryanegara, mendorong Belanda (disebutnya: Kerajaan Protestan Belanda) untuk menurunkan tiga ribu serdadunya dalam rangka menduduki Banda Aceh pada Maret-April 1973.
Serangan Belanda disambut rakyat, ulama, dan umara Aceh dengan semangat jihad fii sabilillah. Sesungguhnya, Aceh menjalin relasi yang baik dengan Kekhilafahan Turki Utsmaniyyah. Hanya saja, Turki kala itu sedang disibukkan berbagai perang di sekitar negerinya. Praktis, Turki tak dapat lagi memberikan bantuan militernya ke nusantara termasuk Acehyang sedang dilanda imperialisme Barat.
Akibatnya, Suryanegara mengatakan, Aceh harus mandiri dalam menghalau Belanda. Pada praktiknya, Belanda menjalankan politik pecah belah (devide et impera). Kalangan uleebalang dibuat berpihak kepada penjajah. Alhasil, militer Belanda menyatakan Perang Aceh berakhir pada 1881.
Padahal, Aceh tak hanya milik bangsawan yang telah mengadakan kerja sama dengan Belanda. Gelombang perlawanan pun terus berlanjut, terutama dengan pimpinan ulama setempat, semisal Tengkoe Tjik Di Tiro (1836- 1891). Perjuangan juga digelorakan Cut Nyak Dhien (1848-1908) hingga akhirnya istri Teuku Umar itu ditangkap pasukan kolonial pada 1904.
Karena itu, Suryanegara meyakini, sesungguhnya Perang Aceh baru benar-benar berakhir saat menyerahnya Belanda kepada bala tentara Jepang pada 8 Maret 1942. Kurun waktu antara 1881 dan 1942, dengan demikian, menjadi fase penting bagi penerapan proyek kolonial dalam melihat karakteristik Islam di Aceh. Terkait hal ini, Christiaan Snouck Hurgronje berperan besar.
Mulanya, Belanda meyakini operasi militer yang sadis dapat melumpuhkan semangat pemimpin dan rakyat Aceh. Faktanya, jauh panggang dari api. Tak kurang dari 17 ribu pasukan Belanda tewas di tangan pejuang-pejuang Aceh. Christiaan pun memberi masukan kepada JB van Heutsz, Belanda harus menggunakan bantuan kalangan uleebalang.
Proyek sang orientalis difokuskan memecah belah umat Islam di Tanah Air. Dalam pandangan Christiaan, seperti dijelaskan Burhanudin, Belanda dapat merangkul para pemuka adat di tiap daerah. Baik uleebalang (di Aceh) maupun penghulu (di Jawa) hendaknya difasilitasi dalam menikmati kehidupan di bawah pemerintahan kolonial. Harapannya, masyarakat Hindia Belanda lainnya akan ikut tunduk.
Kasus Teuku Umar menunjukkan, saran Christiaan didengarkan penguasa. Namun, sang uleebalang toh akhirnya berbalik melawan Belanda. Secara umum, menurut Burhanuddin, Christiaan membangun visinya tentang Hindia Belanda sebagai yang terbaratkan, yang menjadi bagian dari Negeri Belanda Raya.
Cita-cita ini mewujud dalam proyek emansipasi atau asimilasi sejak permulaan abad ke-20. Kalangan priayi atau ningrat pribumi menjadi yang paling memungkinkan didekati rezim kolonial untuk merealisasikan pemberadaban ini.
Aqib Suminto dalam Politik Islam Hindia Belanda (1986) menjabarkan bagaimana pandangan dan sikap sang doktor Leiden ini terkait Islam di Tanah Air. Dalam sebuah artikelnya di Indische Gids, Christiaan memperingatkan, Islam berbahaya bagi Belanda. Harapan untuk mengkristenkan seluruh nusantara hanyalah sebatas impian. Secara jeli, sang orientalis memaparkan besarnya pengaruh kebudayaan santri. Kalangan inilah yang mesti terus dipojokkan.
Untuk menghadapi Mohammedan di nusantara, Christiaan menyarankan pemerintah kolonial agar membuat kebijakan-kebijakan yang membatasi Islam menjadi kepercayaan ritual atau agama masjid belaka. Ia menyarankan, kalau perlu, pendekatan militeristik yang tegas dapat diterapkan bagi siapa pun pemuka agama yang menerjemahkan Islam sebagai inspirasi gerakan-gerakan politik melawan imperialisme-kolonialisme.
Antara Haji, Jihad, dan Syariat
Christiaan Snouck Hurgronje membawa kebaruan bagi metode Belanda dalam menaklukkan nusantara. Menurut Jajat Burhanudin dalam Ulama dan Kekuasaan (2012), orientalis berhaluan liberal itu adalah sarjana pertama yang mengkritik kebijakan kolonial tentang haji. Baginya, gelar haji dan pakaian Arab tak sepatutnya diatur tegas. Begitu pula dengan pembatasan haji.
Maka, Christiaan menganjurkan dengan sungguh-sungguh agar mereka yang mau naik haji, jika tidak ada keberatan khusus lainnya yang menghalangi niatnya, hendaknya diberi paspor yang mereka minta, demikian guru besar Universitas Leiden tersebut. Dalam karyanya, Mekka, ia menuliskan pengamatannya terhadap komunitas Jawi (nusantara) di Tanah Suci.
Ia berpendapat, jamaah haji, pelajar, dan pengikut tarekat asal nusantara selama berada di Makkah tak menunjukkan tanda-tanda fanatisme. Mereka hanya mewakili suatu jaringan intelektual antara nusantara dan jantung dunia Islam. Berbeda halnya dengan kalangan yang disebutnya kaum fanatik. Menurut Christiaan, mereka dipengaruhi ideologi jihad. Baginya, inilah akar bahaya. Sebab, ideologi tersebut membuat masyarakat pribumi menentang pemerintah kolonial. Pengamatan langsung atas Perang Aceh semakin menguatkan pandangannya itu.
Sebagai ilmuwan yang dididik dalam lingkungan kampus liberal, Christiaan menganggap peradaban Barat sekuler sebagai puncak evolusi kebudayaan umat manusia. Alhasil, segala peradaban lain, termasuk Islam, harus tunduk. Ideologi jihad, lanjut dia, adalah kendala yang mesti dilenyapkan.
Bahasa yang dipakainya dalam melawan jihad bukan penjajahan, melainkan pemberadaban. Yakni, melalui pendidikan yang menjadikan anak-anak pribumi berkiblat pemikiran dan tindakan kepada Barat. Pemberlakuan Politik Etis (Ethische Politiek) di Hindia Belanda sejak 1900-an memuluskan realisasi visi Christiaan.
Selain itu, sang orientalis juga menyarankan pemerintah kolonial agar membuat berbagai kebijakan yang memisahkan umat Islam dari dunia politik. Janganlah penguasa mengganggu penduduk yang menjalankan sebatas ritual agama. Namun, begitu agama (Islam) menyentuh soal politik, rezim harus segera menghancurkannya.
Menurut Christiaan, sejatinya masyarakat nusantara lebih patuh pada hukum adat ketimbang hukum agama (syariat). Dalam hal ini, ia mengamini teori resepsi, yakni suatu penduduk akan menerima (meresepsi) suatu aturan bila memang sesuai dengan adat istiadat setempat. Melalui berbagai suratnya, ia mendesak agar pemerintah menghargai wibawa hukum adat di samping hukum yang dibawa dari Eropa ke negeri jajahan.
Dengan rezim mengangkat hukum adat, secara implisit ia bermaksud, umat Islam di nusantara dapat terbujuk untuk meninggalkan syariat. Kini, sudah delapan dekade lebih tokoh itu meninggal. Namun, perspektifnya dapat kita jumpai hingga saat ini. Wacana memisahkan Islam dari kehidupan politik masih saja terasa. Jargon-jargon semisal hapuskan peraturan daerah (perda) syariat atau jangan politisasi masjid untuk menyebut beberapa contoh saja sesungguhnya juga terpengaruh sekularisme ala Hurgronje.
Pemerintah jajahan Belanda tempo dulu juga sudah melarang politisasi masjid. Dengan mengikuti arah Snouck Hurgronje, pemerintah Belanda mengizinkan eksistensi masjid dan kaum Muslim itu hanya untuk soal ritual dan ibadah, mengutip guru besar Universitas Paramadina, Prof Abdul Hadi WM (Republika, 20/9/2018).