REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra*
Ada yang tidak biasa dalam agenda Sidang Kabinet Paripurna untuk Penanganan Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi Tahun 2021 yang disiarkan melalui akun Youtube Sekretariat Presiden di Jakarta pada Senin (7/9). Secara tiba-tiba, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui, penanganan kesehatan menjadi kunci agar ekonomi berjalan baik.
Menurut Jokowi, faktor kesehatan yang baik bisa menjadikan ekonomi Indonesia lebih baik. "Artinya fokus kita tetap nomor satu adalah kesehatan," ucap Jokowi kala itu.
Tidak cukup sampai di situ. Akun Twitter resmi @jokowi pun mengunggah status yang menegaskan jika pemerintah lebih memprioritaskan penanganan kesehatan dibandingkan ekonomi selama pandemi Covid-19.
"Banyak orang yang justru merasa aman ketika kembali ke rumah setelah beraktivitas, dari kantor, pabrik, atau selepas perjalanan. Padahal, di manapun kita berada, protokol kesehatan dan kebiasaan baru harus tetap diperhatikan dan dilakukan dengan ketat. Agar ekonomi kita baik, kesehatan harus baik. Ini artinya, fokus utama pemerintah dalam penanganan pandemi ialah kesehatan dan keselamatan masyarakat. Jangan sampai urusan kesehatan ini belum tertangani dengan baik, kita sudah me-restart ekonomi. Kesehatan tetap nomor satu," ucap Jokowi.
Sontak saja, perubahan sikap Jokowi tersebut cukup mengagetkan. Di satu sisi patut disyukuri, di sisi lain menunjukkan jika Jokowi sudah berubah arah. Apa pasal? Sejak pandemi Covid-19 ditetapkan di Indonesia pada awal Maret lalu, terlihat jelas Jokowi selalu mengutamakan masalah ekonomi. Jokowi ingin agar penanganan Covid-19 dilakukan berbarengan antara ekonomi dan kesehatan.
Di saat beberapa negara tetangga memilih opsi lockdown, Indonesia malah menggiatkan agar masyarakat mengikuti kenormalan baru. Jokowi sendiri yang memimpin kampanye itu, sampai mendatangi sebuah pusat perbelanjaan di Kota Bekasi. Memang dampak lockdown membuat ekonomi, seperti yang terjadi di negeri jiran Singapura dan Malaysia, mengalami minus parah dan sampai resesi.
Namun, kini kasus Covid-19 di dua negara tersebut tertangani. Pandemi terkendali dengan tingkat kematian yang sangat amat jauh lebih rendah dibandingkan negeri tercinta kita ini. Alhasil, pemulihan ekonomi di dua negara tetangga Indonesia tersebut sepertinya prosesnya bakal lebih cepat.
Sementara yang terjadi di Indonesia, penyebaran virus corona semakin parah. Setiap hari angka penambahan kasus positif sudah konsisten di atas 3.000-an orang positif Covid-19. Belum ada tanda-tanda kurva bakal menurun. Yang terjadi sebaliknya. Tidak lama lagi angka laporan harian bisa menyentuh 4.000 orang.
Itu pun beberapa hari terakhir, sumbangan kasus dari DKI Jakarta mencapai 1.000 orang positif per hari. Angkanya terbilang besar lantaran kemampuan tes Pemprov DKI memang tinggi, dan bahkan melebihi standar yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Sementara di provinsi lain, kemampuan tes terbilang rendah. Alhasil, temuan kasus positif Covid-19 juga sedikit. Sehingga jangan bangga jika ada provinsi dengan laporan harian sedikit maka hal itu lantaran jumlah warga yang menjalani tes usap juga di bawah ketentuan WHO.
Di sini lah akar permasalahannya. Ketika mendapat kode RI 1 mulai berubah arah dengan mengutamakan kesehatan, Gubernur DKI Anies Rasyid Baswedan melihat hal itu sebagai peluang untuk menangani penyebaran Covid-19 secara lebih tegas. Dia pun di Balai Kota DKI pada Rabu (9/9) malam WIB, mengadakan konferensi pers. Dengan tegas, Anies ingin memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) total, menggantikan PSBB transisi yang terbukti tidak efektif mengerem laju penambahan angka positif virus corona.
Anies sepertinya yakin keputusannya kali ini didukung oleh pemerintah pusat. Tentu saja keyakinan itu bersumber dari kode yang disampaikan Jokowi, yang tiba-tiba tidak lagi memaksakan untuk memulihkan ekonomi selama penanganan kesehatan belum terkendali. Namun apa lacur. Anies sepertinya salah langkah. Keputusannya yang ingin membatasi mobilitas masyarakat yang berisiko menahan geliat ekonomi tidak disetujui pemerintah pusat.
Jika pada medio Maret lalu, keputusan Anies yang ingin melakukan karantina wilayah dan pembatasan transportasi di Ibu Kota dianulir Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinves) Luhut Binsar Pandjaitan, kali ini yang maju sebagai penyambung lidah pemerintah pusat adalah Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Tanpa tedeng aling-aling, Airlangga langsung melempar kesalahan ke Anies yang dianggap membuat indeks saham harga gabungan (ISHG) jatuh karena sentimen kabar buruk dari DKI 1.
Tidak sampai di situ, Airlangga juga membantah jika fasilitas kesehatan di Jakarta jumlahnya terbatas. Alhasil, ia ingin mengoreksi langkah yang ditempuh Anies dengan menarik rem darurat yang dianggap bisa membuat pertumbuhan ekonomi nasional menjadi tertekan.
Dengan kata lain, Airlangga yang mewakili sikap Jokowi ingin mementalkan kebijakan Anies terkait pemberlakuan PSBB total mulai Senin (14/9). Karena jika PSBB total berlaku maka konsekuensinya memang pertumbuhan ekonomi bakal tertahan. Namun, apakah mereka tidak memikirkan jumlah kematian yang juga terus bertambah akibat penularan Covid-19 tidak terkendali?
Sampai di sini sudah jelas jika langkah Pemprov DKI tidak direstui pemerintah pusat. Jokowi pun bergeming. Dia tidak merespon apa pun. Media akhirnya mendapatkan konfirmasi sikap Istana lewat Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman.
Menurut Fadjroel, atasannya menganggap pembatasan sosial berskala mikro (PSBM) jauh lebih efektif diterapkan untuk menerapkan disiplin protokol kesehatan masyarakat. Inti pesan yang disampaikan Istana adalah tidak ingin aktivitas ekonomi terhenti sehingga masyarakat harus tetap bekerja seperti biasa, dengan risiko penularan Covid-19 yang semakin mengancam di depan mata.
Tentu saja PSBM ini sudah diterapkan Pemprov DKI. Ketika kasus Covid-19 terkendali saat PSBB berlaku, Pemprov DKI sudah mulai melonggarkan aktivitas masyarakat dengan hanya mengawasi lingkungan RW di zona merah. Inilah praktik PSBM yang diikuti dengan pelonggaran aktivitas ekonomi, di mana mal boleh dibuka dan toko maupun kafe boleh menerima pengunjung, dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
Kembali ke masalah Jokowi dan Anies, ini sangat menggelikan jika pemerintah pusat dan Pemprov DKI akhirnya saling berseberangan. Memang selama ini kantor Jokowi dan Anies 'berseberangan'. Jika Jokowi berkantor di Jalan Medan Merdeka Utara maka Anies berdinas di Jalan Medan Merdeka Selatan.
Menjadi unik juga jika ternyata Anies tidak mampu membaca pesan tersirat Jokowi yang terkesan hanya lips service saat mengucapkan komitmen pemerintah yang mengutamakan kesehatan daripada ekonomi. Anies adalah juru bicara Jokowi selama Pilpres 2014. Anies pula yang kerap menghantam Prabowo Subianto dengan pernyataannya yang bernas.
Seharusnya Anies mengenal karakter Jokowi luar dalam. Ternyata hal itu bukan jaminan. Kali ini, terlihat Anies luput dalam membaca watak Jokowi, dan konsekuensinya PSBB total yang digagas Pemprov DKI bisa tidak berlaku.
*Wartawan Republika