REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Takfiri atau memvonis orang lain sebagai kafir merupakan persoalan dalam umat Islam. Ada konsekuensi syariat atas seseorang yang dinyatakan sebagai kafir.
Di antaranya adalah, batalnya status pernikahan, tidak ada hak asuh anak, tidak memiliki hak untuk mewariskan dan mewarisi, serta tidak boleh dikubur di permakaman Islam saat meninggal.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menegaskan, takfir merupakan hukum syariat yang tidak boleh dilakukan orang per orang atau lembaga yang tidak memiliki kredibilitas dan kompetensi untuk itu. Vonis kafir harus diputuskan oleh lembaga keulamaan yang diotorisasi oleh umat dan negara.
Nabi Muhammad SAW juga telah memperingatkan umatnya agar tidak sembarangan menuding sesama Muslimin sebagai kafir. Sebab, imbasnya akan sangat berat, baik bagi si penuduh maupun tertuduh.
Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Siapa saja yang berkata 'kafir' kepada saudaranya, maka sungguh akan kembali sebutan kekafiran tersebut kepada salah seorang dari keduanya."
Dalam hadis lain, disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda, "Apabila seseorang berkata kepada orang lain, 'kafir', maka kafirlah salah satu dari keduanya.
Apabila orang yang dikatakan kafir itu (memang) kafir keadaannya, maka ia telah (berucap) benar.
Namun, apabila orang itu keadaannya tidak seperti yang ia katakan, maka ucapan kafir yang ia katakan kepada orang tersebut kembali kepadanya."
Sejarah pun mencatat kisah Usamah bin Zaid. Setelah suatu pertempuran jihad fii sabilillah usai, sahabat Nabi SAW itu berkata kepada beliau.
"Aku bertemu seorang laki-laki. Aku hendak menghujamkan tombak, tetapi laki-laki itu mengucapkan syahadat. Aku tetap saja menusuk dan membunuhnya," tutur Usamah.
Wajah Rasulullah SAW kemudian tampak tidak senang.
"Celakalah engkau wahai Usamah!" kata beliau, "bagaimana nasibmu kelak dengan ucapan la ilaha illallah?"
Demikian Rasul SAW berulang kali mengulangi perkataannya. Mengapa engkau membunuhnya, padahal orang itu telah mengucapkan laa ilaaha illa Allah? Apakah engkau bisa mengetahui isi hati orang itu? Mengapa tetap memvonisnya sebagai kafir?
Akhirnya, Usamah amat sangat menyesali perbuatannya. Rasanya, ia ingin dirinya saja yang mati terbunuh sebelum peristiwa itu terjadi.
Sejak itu, ia berjanji tak akan pernah lagi membunuh orang ataupun musuh yang telah mengucapkan syahadat. Sikap itu ia pegang teguh bahkan ketika terjadi fitnah besar antara kubu Khalifah Ali dan Mu'awiyah. Usamah berusaha netral dan berdiam diri di rumah selama pertikaian berlangsung.