REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ratna Puspita*
"Mendagri Tito Karnavian memberi sanksi kepada 72 kepala daerah karena melanggar protokol kesehatan Covid-19 pada proses pendaftaran Pilkada 2020 yang digelar 4-6 September 2020 lalu." Kalimat pada berita yang beredar Jumat, 11 September 2020, itu merupakan update dari berita-berita serupa dengan nada yang sama.
Sanksi itu dibarengi dengan berbagai kecaman soal pelanggaran protokol kesehatan pada Pilkada 2020.
Suara-suara dari DPR RI meminta calon kepala daerah yang melanggar agar mendapatkan sanksi. Ada pula politisi yang menyatakan prihatin atas kondisi ini.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengumpulkan kementerian dan lembaga pada 9 September 2020. Mahfud bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk membahas pelaksanaan protokol kesehatan pada Pilkada 2020.
Dalam pertemuan itu, muncul beragam pernyataan. Mahfud mengatakan ada 300 pelanggaran protokol kesehatan dengan 59 calon kepala daerah (pada Sabtu, 12 September 2020, angkanya bertambah menjadi 63 calon) terpapar Covid-19. Mendagri Tito Karnavian mengusulkan sanksi diskualifikasi bagi calon kepala daerah.
Sanksi dari Tito, pernyataan Mahfud, dan kecaman politisi sepertinya menempatkan ketegasan elite-elite politik menghadapi (calon) kepala daerah yang melakukan pelanggaran protokol kesehatan. Namun, sanksi teguran keras, pernyataan, atau kecaman kepada para calon pemimpin kepala daerah ini sebenarnya tidak sebanding dengan yang diterima masyarakat ketika melanggar protokol kesehatan.
Di DKI Jakarta, misalnya, jika Anda melanggar protokol kesehatan seperti tidak mengenakan masker maka Anda bisa kena hukuman kerja sosial seperti nyapu, dan ngecat trotoar. Bahkan, DKI sudah mulai menerapkan denda progresif untuk perorangan dan perusahaan yang melanggar protokol kesehatan.
Bagi pelanggar perorangan akan dikenai denda kelipatan Rp 250 ribu apabila melakukan pelanggaran berulang. Perusahaan akan diberi denda kelipatan Rp 25 juta apabila melakukan pengulangan melanggar protokol kesehatan.
Pemprov Jatim juga menerapkan sanksi denda meski lebih ringan dibandingkan DKI. Yakni, jika melanggar tiga kali maka dikenai denda Rp 250 ribu.
Lain lagi dengan Pemkab Sidoarjo, Jatim, yang menghukum 54 pelanggar protokol kesehatan dengan berdoa bersama di makam khusus korban Covid-19. Dalam wawancara dengan media, seorang pelanggar mengaku kapok melanggar protokol Covid-19.
Alasannya, ia takut mengaji malam hari di pusara pasien Covid-19. Simbolisasi hantu dan makam memang sering kali lebih menyeramkan daripada virus corona yang sebenarnya juga tidak terlihat oleh mata telanjang.
Dari sanksi-sanksi tersebut, saya pun mempertanyakan kenapa elite-elite di daerah tidak dikenakan sanksi serupa. Jika seorang cakada mengerahkan 1.000 massa pada tahap pendaftaran, bukankah lumayan ada 1.000 tenaga gratis untuk nyapu atau ngecat.
Apalagi, kalau ada sanksi denda. Misalnya 100 massa pendukung 'dihargai' kelipatan Rp 25 juta maka 1.000 pendukung bisa terkumpul dana hingga Rp 250 juta. Dananya mungkin bisa dipakai untuk beli ventilator.
Untuk sanksi mengaji di kuburan khusus pasien Covid-19, saya khawatir kalau 1.000 orang mengaji bersama justru tidak ada yang takut. Sebaliknya, sanksi mengaji justru dijadikan unjuk kekuatan dan unjuk kesalehan.