REPUBLIKA.CO.ID, RICHMOND -- Pandemi Covid-19 tidak diragukan lagi mencetus stres untuk banyak orang karena berbagai akibat yang ditimbulkannya. Meski demikian, sebagian karyawan merasa lega karena memiliki jadwal lebih fleksibel dan bisa bekerja jarak jauh dari rumah.
Hal tersebut terungkap dari studi yang digagas organisasi nirlaba Mental Health America (MHA) bersama FlexJobs. Sebanyak 80 persen partisipan percaya bahwa fleksibilitas kerja membantu mereka menjaga kesehatan mental dengan lebih baik.
Mayoritas sepakat bahwa bekerja dari rumah membuat mereka lebih produktif dan bisa menjaga kesehatan secara keseluruhan, fisik maupun mental. Jam dan lokasi kerja yang fleksibel mendukung karyawan menjalani kehidupan pribadi mereka.
Dalam studi tersebut, 75 persen responden setuju bahwa stres di tempat kerja sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental yang menyebabkan kecemasan atau depresi. Sebanyak 17 persen menyebut itulah masalah utamanya.
Ada 66 persen peserta studi yang memilih bekerja jarak jauh secara purnawaktu setelah pandemi selesai. Sementara, 33 persen peserta lainnya yang mengharapkan bisa memiliki kombinasi antara datang ke kantor dan bekerja jarak jauh.
Terdapat 83 persen responden yang berpendapat bahwa memiliki pekerjaan fleksibel menurunkan tingkat stres. Sebanyak 67 persen mengatakan fleksibilitas kerja meningkatkan waktu untuk berolahraga.
Lebih penting lagi, sekitar 92 persen responden berpikir pekerjaan yang fleksibel membuat mereka lebih bahagia. Poin ini penting karena tingkat stres semua orang tentunya lebih tinggi semasa pandemi.
Hasil studi menawarkan opsi mengenai pola serta struktur cara kerja yang mungkin lebih menyehatkan di masa mendatang. CEO dan pendiri FlexJobs, Sara Sutton, mengatakan fleksibilitas kerja dapat menjadi solusi.
Mengizinkan karyawan bekerja secara fleksibel dapat secara signifikan mengurangi konflik antara kehidupan pribadi dan profesional. Keseimbangan dapat tercapai sehingga kebutuhan mental, emosional, dan fisik karyawan dapat terpenuhi.
"Mengingat stres dan ketidakpastian akibat corona, membuat karyawan memiliki lebih banyak kendali atas hari kerja mereka dapat berdampak besar pada kesehatan mental dan kebugaran secara keseluruhan," ujar Sutton.
Presiden dan CEO MHA, Paul Gionfriddo, berpendapat bahwa pembuat kebijakan di perusahaan perlu mempertimbangkan pilihan kerja yang fleksibel. Saat ini dan seterusnya, itu menjadi bagian penting dalam membantu karyawan untuk berkembang.
"Bahkan sebelum pandemi, beberapa industri paling sehat yang berkaitan dengan kesehatan mental dan kesejahteraan karyawan telah memberikan tawaran pilihan kerja yang fleksibel," kata Gionfriddo, dikutip dari laman Forbes, Ahad (13/9).
Para atasan mungkin takut apabila mengizinkan seluruh tim bekerja jarak jauh malah menguras motivasi dan produktivitas. Kecemasan itu disangkal oleh sebuah studi jangka panjang selama dua tahun.
Profesor Nicholas Bloom dari Universitas Stanford meneliti bahwa karyawan yang bekerja dari rumah benar-benar menyelesaikan tugas shift dengan optimal setiap hari. Itu karena mereka tidak lelah dan menghabiskan waktu untuk pergi ke tempat kerja.
Bloom dan timnya menemukan bahwa karyawan yang bekerja dari rumah mengambil waktu istirahat yang lebih pendek, lebih sedikit hari sakit, dan lebih sedikit waktu izin. Tentunya, perjalanan yang lebih sedikit juga mengurangi emisi karbon kendaraan.
Di sisi lain, penelitian ini juga menemukan dampak buruk dari bekerja secara jarak jauh purnawaktu, yakni karyawan mengaku merasa terisolasi tanpa adanya interaksi dengan kolega. Belum lagi masalah pengasuhan bagi karyawan yang sudah menjadi orang tua.
Setidaknya, karyawan perlu memiliki pilihan untuk fleksibilitas cara kerja mereka. Meski terlalu dini menetapkan konsep yang sesuai untuk masa depan, ada temuan jelas bahwa fleksibilitas dapat membantu menjaga kesehatan mental.