REPUBLIKA.CO.ID, MANAMA -- Tanda-tanda Bahrain akan menjadi negara Teluk Arab kedua yang mengumumkan normalisasi hubungan dengan Israel sudah terlihat beberapa tahun yang lalu. Pada Februari 2017, Raja Hamad bin Isa Al Khalifa bertemu dengan pemimpin-pemimpin Yahudi di Amerika Serikat (AS).
Media Qatar, Aljazirah melaporkan saat itu Raja Hamad menyayangkan langkah negara-negara Arab memboikot Israel. Satu tahun kemudian organisasi antar-agama yang didukung pemerintah This is Bahrain memicu amarah warga Palestina.
Kelompok tersebut mengunjungi Israel beberapa hari setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan keputusannya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan dari Tel Aviv ke sana. Palestina menilai keputusan Bahrain itu sebagai sebuah pengkhianatan. Palestina menganggap normalisasi Bahrain dengan Israel sebagai bagian dari kerangka perdamaian baru yang didikte AS demi menghapus perjuangan Palestina.
"Tidak diragukan lagi hal ini menjadi pukulan keras bagi rakyat Palestina dan perasaan yang menyakitkan perjuangan mereka bukan lagi prioritas rezim-rezim Arab," kata peneliti senior di Pusat Kajian Timur Tengah London School of Economics, Ian Black pada Aljazirah, Senin (14/9).