Senin 14 Sep 2020 14:36 WIB

Restu Saudi di Balik Normalisasi Hubungan Arab-Israel

Tanda normalisasi hubungan negara-negara Arab dan Israel terlihat sebelumnya

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Para anggota kabinet AS bertepuk tangan usai Presiden Donald Trump mengumumkan normalisasi hubungan Bahrain-Israel, Jumat (11/9).
Foto: EPA
Para anggota kabinet AS bertepuk tangan usai Presiden Donald Trump mengumumkan normalisasi hubungan Bahrain-Israel, Jumat (11/9).

REPUBLIKA.CO.ID, MANAMA -- Tanda-tanda Bahrain akan menjadi negara Teluk Arab kedua yang mengumumkan normalisasi hubungan dengan Israel sudah terlihat beberapa tahun yang lalu. Pada Februari 2017, Raja Hamad bin Isa Al Khalifa bertemu dengan pemimpin-pemimpin Yahudi di Amerika Serikat (AS).

Media Qatar, Aljazirah melaporkan saat itu Raja Hamad menyayangkan langkah negara-negara Arab memboikot Israel. Satu tahun kemudian organisasi antar-agama yang didukung pemerintah This is Bahrain memicu amarah warga Palestina.

Baca Juga

Kelompok tersebut mengunjungi Israel beberapa hari setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan keputusannya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan dari Tel Aviv ke sana. Palestina menilai keputusan Bahrain itu sebagai sebuah pengkhianatan. Palestina menganggap normalisasi Bahrain dengan Israel sebagai bagian dari kerangka perdamaian baru yang didikte AS demi menghapus perjuangan Palestina.

"Tidak diragukan lagi hal ini menjadi pukulan keras bagi rakyat Palestina dan perasaan yang menyakitkan perjuangan mereka bukan lagi prioritas rezim-rezim Arab," kata peneliti senior di Pusat Kajian Timur Tengah  London School of Economics, Ian Black pada Aljazirah, Senin (14/9).