REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Rr Laeny Sulistyawati, Antara
Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Jakarta harus dibarengi dengan kesadaran untuk tertib mematuhi aturan protokol kesehatan oleh masyarakat. Tidak hanya itu protokol keamanan dan kesehatan bagi tenaga medis juga penting diatur ketat.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun meminta Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengaudit dan mengoreksi protokol keamanan dan kesehatan untuk seluruh tenaga medis dan pasien di rumah sakit. Presiden Jokowi dalam rapat terbatas melalui telekonferensi video di Istana Merdeka mengatakan, audit dan koreksi protokol kesehatan bagi pasien dan tenaga medis itu diperlukan agar rumah sakit menjadi tempat yang aman. Termasuk tidak menjadi klaster penyebaran virus corona baru SARS-CoV-2 atau penyakit Covid-19.
“Saya minta Menkes segera melakukan audit dan koreksi mengenai protokol keamanan untuk tenaga kesehatan dan pasien di seluruh RS,” kata Presiden dalam rapat terbatas mengenai Laporan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Senin (14/9).
Presiden juga meminta kapasitas tempat tidur dan instalasi rawat intensif (Intensive Care Unit/ICU) di seluruh RS rujukan Covid-19 mencukupi. “Pastikan ketersediaan tempat tidur dan ICU di RS rujukan untuk kasus-kasus yang berat,” ujar Presiden.
Sedangkan untuk kasus pasien Covid-19 tanpa gejala dan gejala ringan, ujar Presiden, pemerintah akan memastikan ketersediaan kapasitas fasilitas isolasi. Seperti di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Kemayoran, sarana Balai Pelatihan Kesehatan di berbagai daerah, dan juga hotel bintang satu dan dua.
"Pemerintah juga menyiapkan pusat-pusat karantina dengan pasien gejala ringan agar tidak melakukan isolasi mandiri. Ini juga penting, yang berpotensi menularkan kepada keluarga, kita telah bekerja sama dengan hotel bintang 1 dan 2 untuk menjadi fasilitas karantina," ujar Kepala Negara.
Selain itu, ia juga meminta agar jumlah tempat tidur serta ICU di rumah sakit rujukan covid untuk pasien dengan kasus berat betul-betul tersedia.
Lebih lanjut, Jokowi mengatakan, hingga saat ini rumah sakit darurat Wisma Atlet Kemayoran masih mampu menampung 2.581 pasien gejala ringan, yang terdiri dari 858 tempat tidur di tower 6 dan 1.723 di tower 7.
Sedangkan untuk flat isolasi mandiri di Wisma Atlet juga masih tersedia sebanyak 4.863 tempat tidur di tower 4 dan 5. Selain itu, tempat isolasi juga masih tersedia di balai pelatihan kesehatan di Ciloto yang mampu menampung 653 orang dan juga sejumlah tempat isolasi lainnya di balai pelatihan kesehatan di Batam, Semarang, dan juga Makassar.
Jokowi menyebut, pemerintah juga telah menyiapkan pusat karantina di sejumlah hotel untuk pasien dengan gejala ringan sehingga tidak berpotensi menularkan kepada anggota keluarga lainnya.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyambut baik keputusan DKI Jakarta yang memindahkan isolasi mandiri warganya yang positif terinfeksi Covid-19 di fasilitas yang ditetapkan pemerintah. Sebab, isolasi mandiri di rumah tidak efektif memutus penularan virus.
Ketua Satgas Covid-19 IDI Zubairi Djoerban mengatakan isolasi mandiri dilakukan dengan tujuan untuk mencegah penularan virus. "Sebenarnya selama isolasi mandiri bisa dikerjakan di rumah maka itu hal yang baik, tetapi kenyataannya kan terbukti tidak efektif," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id.
Ia menilai, banyak pasien Covid-19 hanya bertahan di rumah selama dua atau tiga hari. Saat pasien belum menyelesaikan isolasi mandiri sekitar 2 pekan, mereka memilih keluar rumah. Zubairi khawatir ini bisa membuat pasien Covid-19 menularkan virus ke lainnya. Selain itu, dia melanjutkan, isolasi mandiri di rumah rentan memunculkan klaster keluarga atau di rumah.
"Jadi, sebaiknya isolasi mandiri di fasilitas pemerintah," katanya.
Terkait tempat isolasi mandiri di fasilitas yang disediakan pemerintah bisa mencukupi, Zubairi menegaskan itu bergantung pada pemerintah daerah. Menurutnya Pemprov DKI Jakarta sebagai pihak yang membuat program ini seharusnya mencari tempat baru untuk isolasi mandiri.
Ia mencontohkan aparat desa di Yogyakarta di tingkat RT/RW menempatkan pasien isolasi mandiri di sekolah. Ia meminta pemerintah daerah Jakarta bisa mencontoh pemda Yogyakarta dan memanfaatkan kantor, gedung sekolah atau bangunan lainnya yang tidak dipakai.
"Jadi, pemerintah tidak harus membangun gedung baru (untuk isolasi mandiri) yang membutuhkan biaya mahal," katanya.
Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah, mengatakan menyambut baik kebijakan PSBB Jakarta. PPNI tapi memiliki sejumlah catatan.
Pertama, PPNI menghimpun pengakuan tenaga kesehatan perawat yang terinfeksi virus saat diisolasi di rumah atau RS ternyata lebih menikmati saat diawasi di rumah. Sedangkan kalau menjalani isolasi di RS yang kondisinya ramai dan ruangan menjadi lebih sempit ternyata menjadi stres tersendiri untuk pasien.
"Jadi, kondisi pasien Covid-19 ini bisa memburuk karena kondisi psikologis. Artinya kondisi pasien dirawat di RS tidak lebih baik dari isolasi mandiri di rumah," katanya.
PPNI meminta pemerintah memberikan kejelasan mengenai teknis isolasi mandiri mandiri di tempat yang disediakan pemerintah. Ia meminta pemerintah harus membuat standard operational procedure (SOP) di dalam penempatan pasien di RS.
Catatan kedua, jika fasilitas pelayanan kesehatan disulap menjadi tempat isolasi mandiri dan membutuhkan tenaga kesehatan, PPNI meminta pemerintah harus mempersiapkan dengan baik jumlah tenaga kesehatan yang bisa melakukan pelayanan kesehatan ini. "Karena tenaga kesehatan di DKI Jakarta sudah kewalahan dan mereka sudah banyak yang terinfeksi kemudian dikarantina, baik di RS maupun di rumah," katanya.
Akibatnya, dia melanjutkan, tenaga kesehatan yang seharusnya memberikan pelayanan kesehatan tetapi tidak memberikan pelayanan kesehatan akhirnya diganti teman-teman seprofesinya yang tidak melayani pasien virus corona SARS-CoV2 (Covid-19). Ini membuat poli layanan umum menjadi kurang tenaga kesehatannya sehingga menyebabkan kekurangan.
"Efek dominonya seperti itu. Jadi harus tahu konsep pemerintah menarik pasien Covid-19 menjalani isolasi ke tempat penampungan fasyankes atau RS Darurat Wisma Atlet dan tidak mungkin kalau tanpa tenaga kesehatan," katanya.
Walaupun isolasi mandiri pasien Covid-19 di bangunan atau gedung, ia menyebut prosesur tetap (protap) menyebutkan bahwa pasien harus ada pengawasan, monitoring yang dilakukan tenaga kesehatan. Sebab, ia menyebutkan tenaga medis ini harus mengecek tanda-tanda vital, mengukur tensimeter, mengukur suhu, melihat pola napas pasien.
"Orang biasa mana bisa melakukannya. Walau kondisinya seringan apapun, isolasi tetap membutuhkan monitoring yang diawasi tenaga kesehatan," katanya.
Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, berpendapat pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai rem darurat yang diterapkan Pemprov DKI Jakarta sangat diperlukan di tengah melajunya jumlah kasus Covid-19 di Jakarta. "Tetapi, penerapannya harus tetap terukur. Bahkan, tidak ada salahnya diikuti oleh seluruh daerah penyangga. Bila perlu, bisa saja diadopsi oleh provinsi lain jika kondisi memerlukan PSBB model rem darurat," kata Sihombing.
Menurut dia, penerapan PSBB pasti memiliki batas waktu, oleh karena itu PSBB dalam bentuk apapun, termasuk dengan rem darurat sangat baik. "Namun tetap sebagai program jangka waktu sangat singkat, yaitu bisa jadi dua minggu, atau paling kuat satu bulan. Itupun sangat tergantung ketahanan ekonomi suatu daerah atau negara," ujarnya.
Ia menuturkan, ada tiga jangka waktu simultan sejak awal penerapan PSBB. Yakni jangka berkelanjutan, jangka menengah dan jangka pendek. Pada masa jangka berkelanjutan harus ada upaya untuk menumbuhkan kesadaran, sikap, dan perilaku yang taat terhadap seluruh protokol kesehatan demi mencegah penularan Covid-19.
"Komunikasi kesehatan ini salah satu solusi strategis, sebagaimana berulang kali saya sampaikan di ruang publik," paparnya. Kampanye komunikasi kesehatan juga harus dilakukan secara masif, sistematis, terstruktur, kreatif, berkesinambungan dan inovatif pada tingkat nasional hingga keluarga sebagai komunitas terkecil.
"Pesan yang disampaikan dalam kampanye kesehatan harus utuh guna menghindari kebingungan di tengah masyarakat. Dari aspek pengelolaan komunikasi terkait Covid-19, antarpemerintah pusat dan daerah harus sejalan," ujar dia.
Adapun pada jangka menengah, tambah dia, sebaiknya pemerintah membuat program pencegahan penularan dan penanganan kesehatan penderita Covid-19 yang disertai upaya memacu perekonomian demi menjaga semua sektor usaha sekaligus mencegah PHK. "Artinya, penanganan kesehatan berjalan hanya selangkah di depan pemulihan ekonomi agar pembiayaan kesehatan dan kehidupan sehari-hari terpenuhi," paparnya.
Selanjutnya jangka pendek, Sihombing mendorong penemuan dan pengadaan vaksin untuk Covid-19 yang sudah teruji dan andal. Jangka waktu penemuan vaksin pun harus ditetapkan, misalnya paling lama Desember 2021.
"Lebih cepat lebih baik. Karena itu, penelitian harus didukung dana yang sangat memadai," ujarnya.
Menurut dia, para tenaga peneliti juga harus mendapat insentif, pengakuan dan penghargaan luar biasa dari pemerintah maupun masyarakat luas. "Bagi para peneliti yang berhasil diberi saja gelar profesor kemanusiaan," ucapnya.