REPUBLIKA.CO.ID, STOCKHOLM -- Dalam beberapa pekan terakhir, kelompok sayap kanan asal Denmark, Hard Line telah membakar sejumlah alquran di Swedia. Hal itu membuat komunitas Muslim menyuarakan keinginan mereka agar pemerintah mengubah undang-undang Swedia untuk melarang penistaan terhadap agama tertentu, mencakup pembakaran kitab suci.
"Kami tidak ingin aksi membakar kitab suci menjadi legal di Swedia, selain itu mengejek berbagai agama juga harus dilarang," ujar imam Hussein Farah Warsame kepada surat kabar Dagens Nyheter.
Pembakaran Alquran juga dikecam oleh politisi Swedia, termasuk Uskup Agung Antje Jackelen. Sebagai anggota Dewan Kristen Swedia, Jackelen mengecam pembakaran kitab suci tersebut.
"Membakar kitab suci adalah tindakan biadab. Tindakan ini dapat memicu polarisasi dan melawan upaya integrasi. Kami mengungkapkan rasa simpati kami kepada seluruh umat Muslim di negara kami," ujar Jackelen.
Sejak akhir Agustus, kelompok Hard Line telah membakar sejumlah Alquran dan menyebut aksinya sebagai "ghetto Swedia". Mereka melakukan aksi pembakaran di wilayah Rosengard, Malmo yang merupakan kantong umat Muslim. Hal itu memicu kerusuhan yang menyebabkan petugas polisi terluka.
Sejak kejadian itu, kelompok Hard Line meneruskan aksi pembakaran Alquran di Rikenby Stockholm, Gothenburg, dan Trolhattan. Pendiri kelompok Hard Line, Rasmus Paludan mengatakan, pembakaran alquran sebagai upaya untuk membantu Swedia melawan Islamisasi.
“Tujuannya untuk menghentikan Islamisasi di Swedia. Untuk menarik kembali Islamisasi ke tahun 1960-an atau lebih. Seharusnya ada sekitar satu juta orang yang melakukan perjalanan kembali ke negara-negara Muslim tempat mereka berasal, atau pindah ke agama lain selain Islam," kata Paludan.
Komunitas Islam Swedia telah berkembang melalui migrasi massal mulai tahun 1960an. Perkiraan Pew Research 2017 menunjukkan Muslim menyumbang 8,1 persen dari total populasi Swedia yakni sekitar 10 juta jiwa. Jumlah umat Muslim di Swedia terus tumbuh karena proses migrasi yang terus berlanjut, dan tren demografis saat ini yang mencakup angka kelahiran lebih rendah di antara etnis Swedia.