REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Singapura menghadapi klaster baru penularan virus corona di asrama migran yang telah memegang semua izin dari pihak berwenang. Langkah itu menyoroti kesulitan memberantas Covid-19, bahkan dalam populasi yang diawasi secara ketat oleh pemerintah.
Asrama merupakan tempat tinggal lebih dari 300.000 pekerja di industri Singapura, seperti konstruksi dan pembuatan kapal. Mereka menyumbang hampir 95 persen dari penghitungan infeksi Singapura yang lebih dari 57.000 kasus.
Ketika pihak berwenang menemukan virus menyebar cepat melalui asrama, sebelumnya Singapura menutup tempat tersebut. Pemerintah pun meluncurkan pengujian yang masif dan memerintahkan karantina nasional.
Tapi, rata-rata 45 infeksi baru setiap hari muncul di asrama sejak pihak berwenang menyatakan semua penduduk telah pulih atau terbukti bebas virus melalui pengujian pada bulan lalu. Padahal, di luar asrama, rata-rata penemuan kasus harian hanya dua infeksi.
"Ini hanya menunjukkan kesulitan dalam menangani virus ini,” kata pakar penyakit menular di University of Minnesota, Michael Osterholm.
Meski banyak pekerja tidak terinfeksi membuat mereka rentan terhadap virus, tetapi pemerintah menyatakan siap. Alih-alih menutup asrama sepenuhnya, Singapura sekarang bertaruh pada taktik yang berbeda untuk menekan penyebaran.
Pemerintah Singapura membiarkan pekerja tetap berada di tempat kerja tetapi dengan pengujian berulang, jarak sosial yang lebih besar, pemantauan ketat, dan isolasi cepat dari kontak dekat. "Kami yakin bahwa pengujian berulang ini, rutinitas yang telah ditentukan, akan terus memungkinkan kami untuk menyingkirkan hal ini dan membawanya ke bawah kendali," kata Menteri Kedua untuk Ketenagakerjaan, Tan See Leng.
Langkah-langkah lain untuk menekan penyebaran virus dengan membuat lebih sedikit pekerja di kamar asrama dan melakukan pemeriksaan air limbah untuk jejak virus. Pembuatan tempat kerja terpisah hingga penggunaan teknologi yang lebih besar pun dilakukan dalam melacak kontak orang yang terinfeksi.