REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR – Hubungan antara ulama Nusantara dengan ulama di tanah Haramain (Makkah dan Madinah) pada abad ke-17sangatlah erat. Ini antara lain tampak dari kitab “al-Maslak al-Jaliy” yang ditulis ulama sentral Madinah abad-17, Syekh Burhanuddin Ibrahim bin Hasan al-Kurdi al-Kurani al-Madani.
Dosen Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Jakarta, Ahmad Ginanjar Sya’ban, melakukan kajian terhadap manuskrip kitab “al-Maslak al-Jaliy” yang ditulis ulama sentral Madinah abad-17, Syekh Burhanuddin Ibrahim bin Hasan al-Kurdi al-Kurani al-Madani.
Secara umum, menurut Ginanjar, kitab ini ditulis al-Kurani untuk merespons fenomena seorang wali yang dibunuh di Nusantara. Al-Kurani merupakan ulama asal Kurdistan yang turut menentukan sejarah perkembangan pemikiran Islam di Nusantara.
Ia adalah guru utama dari ulama-ulama besar Nusantara pada masa itu, seperti Syekh Abdul Rauf Singkel (w 1693), Syekh Yusuf Makassar (w. 1699), dan Syekh Abdus Syakur Banten.
Ginanjar menjelaskan, wali yang mirip dengan sosok Syekh Siti Jenar tersebut kerap mengeluarkan ungkapan yang jika dipahami orang awam akan bertentangan dengan syariat Islam formal. Misalnya, ketika mengungkapkan “Ana Allah (Aku Allah)”, maka bagi orang awam pandangan itu akan bermasalah.
Namun, menurut Ginanjar, dalam istilah tawawuf sebenarnya kondisi tersebut disebut dengan syathahat, yaitu ungkapan aneh yang dikeluarkan para ahli sufi dalam keadaan tidak sadar. Penulis buku Mahakarya Ulama Nusantara ini mengatakan, mereka tidak sadar karena sangat dekat dengan Allah.
“Nah, al-Kurani itu menulis satu risalah khusus tentang sebuah ungkapan syathahat yang berasal dari seorang wali di Nusantara itu,” ujar Ginanjar saat menjadi pembicara seminar "Manuskrip Keagamaan dan Nilai Kebangsaan" di Bogor, Senin (14/9).
Fatwa dan pandangan al-Kurani tersebut dituangkan dalam sebuah risalah yang kini manuskripnya tersimpan di Perpustakaan Nasional Tunisia di Tunis. Risalah ini kemudian disunting (tahqiq) Dr ‘Abdul Qadir Nashar dan diterbitkan Dar al-Kiraz, Kairo, pada 2001.
Kitab al-Maslak al-Jaly ditulis al-Kurani pada 1086 Hijriyah/1675 M. Kitab yang memiliki 19 halaman ini berisi ulasan sekaligus fatwa al-Kurani terkait permasalahan wahdatul wujud (panteisme) dalam ajaran tasawuf.
Namun, menurut Ginanjar, pembahasan yang paling utama adalah tentang duduk perkara seorang wali dari nusantara yang mengalami suatu kondisi ekstase sufistik atau ketiadaan kesadaran.
Ginanjar mengungkapkan, dalam kitab ini al-Kurani ditanya tentang pemikiran sebagian penduduk negeri Jawi atau nusantara, yang mana saat itu ada kasus satu orang ulama yang mengungkapkan bahwa, “Allah itu adalah wujudku dan diriku, dan kami itu adalah diri Allah dan wujud Allah". "Lalu, itu ditanya kepada al-Kurani, ketika ada satu orang ulama Nusantara kok tiba-tiba ada yang berkata seperti ini?" ucap Ginanjar.
Al-Kurani ditanya tentang hukum apa yang pantas dijatuhkan kepada seorang ulama tersebut. Sementara, saat itu sudah ada seorang ulama pendatang dari luar Nusantara yang menvonis kafir sang wali.
"Nah ini yang menarik di sini, jadi fenomena mengkafirkan terhadap pihak orang Muslim yang tidak segolongan dengan dia, itu ternyata tidak hanya terjadi hari ini saja, itu telah terjadi beberapa ratus tahun yang silam," jelas Ginanjar.
Setelah divonis kafir, masalah itu pun akhirnya sampai ke hadapan seorang sultan di Nusantara. Lalu, majelis ulama di nusantara juga meminta kepada seorang wali yang mengeluarkan ucapan syathahat tersebut untuk menarik ucapannya dan bertaubat. Namun, sang wali tidak mau mencabut ucapannya. Dan ia pun berkata:
"Bagaimana saya harus mencabut ucapan saya sementara tidak ada satu pun di antara hadirin di sini yang memahami hakikat apa yang saya bicarakan."
Namun, sidang majelis ulama itu tetap tidak mau mendengarkan penjelasan sang wali. Hingga akhirnya dewan sidang memutuskan untuk menjatuhkan vonis mati terhadap wali Nusantara ini, termasuk orang-orang yang setuju terhadap pemikiran sang wali. "Tidak cukup dibunuh saja, ternyata dia juga dilemparkan ke api," ungkap Ginanjar.
Dalam merespons kasus ulama Nusantara tersebut, al-Kurani pun tampak sangat hati-hati, memandangnya dengan ilmu, dengan kebijaksanaan, dan dengan adab yang sangat luhur. Pertama, menurut Ginanjar, al-Kurani terlebih dahulu mengingatkan agar setiap gagasan atau wacana yang disampaikan wali itu hendaknya harus melihat konteks audiensnya.
Kedua, al-Kurani juga menjelaskan secara rinci tentang istilah-istilah kunci dalam syathahat yang disampaikan seorang wali dari nusantara itu. Lalu, di akhir penafsirannya al-Kurani pun memberikan pesan sebagai berikut:
“Ketika seorang Muslim itu mengeluarkan satu buah ungkapan yang multi interpretasi, maka hendaknya kita memahami itu dengan pemahaman yang baik, dengan prasangka yang baik, bukan dengan prasangka yang buruk," jelas Ginanjar.
Ketiga, al-Kurani kemudian menjelaskan hukum pemberian vonis kafir atau hukum memurtadkan seorang muslim berdasarkan pandangan empat mazhab.
"Kata al-Kurani hendaklah bagi seorang ulama itu berhati-hati, jangan sampai kemudian mudah untuk menjatuhkan vonis kafir terhadap sesama saudaranya yang Muslim yang lain hanya gara-gara beda pendapat," kata Ginanjar.
Al-Kurani mengungkapkan bahwa tidak boleh sama sekali menjatuhkan vonis kafir kepada seorang Muslim kecuali jika sudah benar-benar jelas alasan dan penyebabnya.
"Intinya begini, kalau dalam diri seseorang itu ada sembilan alasan untuk menjadikannya kemudian dihukumi kafir, lalu ada satu alasan yang menjadikan dia tetap Muslim, maka hendaklah satu alasan ini yang dipegang kuat dan dikedepankan daripada sembilan alasan yang tadi. Itu kata al-Kurani," jelas Ginanjar.
Sosok seorang wali yang diceritakan dalam kitab al-Kurani tersebut menarik untuk diteliti lebih lanjut. Karena, setidaknya ada tiga tokoh penganut ajaran teosofi dan pantheisme di Nusantara, yaitu Syekh Hamzah Fanshuri, Syekh Syamsuddin Samathrani, dan Syekh Siti Jenar.