Selasa 15 Sep 2020 14:54 WIB

Geliat Pesan Antar Perlu Diikuti Regulasi Keamanan Pangan

Pelaku usaha wajib menjamin keamanan dan mutu pangan yang diedarkan.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Pengendara ojek online membawa pesanan makanan di salah satu rumah makan di kawasan Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta, Senin (14/9). Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan, pertumbuhan layanan pesan antar makanan daring perlu diikuti oleh regulasi keamanan pangan yang memadai. Hal itu untuk memberikan rasa aman pada konsumen terkait bagaimana makanan dikemas dan disiapkan.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pengendara ojek online membawa pesanan makanan di salah satu rumah makan di kawasan Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta, Senin (14/9). Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan, pertumbuhan layanan pesan antar makanan daring perlu diikuti oleh regulasi keamanan pangan yang memadai. Hal itu untuk memberikan rasa aman pada konsumen terkait bagaimana makanan dikemas dan disiapkan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan, pertumbuhan layanan pesan antar makanan daring perlu diikuti oleh regulasi keamanan pangan yang memadai. Hal itu untuk memberikan rasa aman pada konsumen terkait bagaimana makanan dikemas dan disiapkan.

Layanan pesan antar makanan memberikan pilihan dan kenyamanan bagi konsumen. Namun di saat yang bersamaan, konsumen seakan melepaskan haknya untuk memeriksa dan mengetahui bagaimana pangan yang ia konsumsi dipersiapkan dan dikemas karena hal ini diserahkan kepada pihak ketiga, yaitu pihak pengirim.

Ia mengatakan, layanan pesan antar makanan daring Indonesia diperkirakan tumbuh 11,5 persen setiap tahun dari 2020 hingga 2024. Penjualan makanan berkontribusi sebesar 27,85 persen dari total penjualan e-commerce pada 2018, menjadikannya kategori terbesar dalam transaksi e-commerce.

"Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat setiap tahun, terutama di masa pandemi, di mana implementasi berbagai kebijakan pembatasan sosial membuat konsumen lebih nyaman untuk berada di tempat masing-masing," kata Felippa dalam Webinar CIPS, Selasa (15/9).

Menurutnya, layanan pesan antar makanan daring, selain memperluas pilihan dan kenyamanan bagi konsumen, juga menciptakan kesempatan ekonomi bagi penjual dan pengirim. Namun, hal itu juga menciptakan tantangan keamanan pangan bagi konsumen yang berbeda dari transaksi secara langsung.

Dibutuhkan regulasi dan koordinasi antar pemangku kepentingan yang mampu menjamin keamanan pangan bagi konsumen, menciptakan rasa aman dan kepercayaan sekaligus untuk mendukung tumbuhnya sektor ini dan mendukung tumbuhnya e-commerce di Indonesia.

"Contohnya, saat ini belum ada regulasi jelas terkait traceability atau keterlacakan distribusi pangan dari petani ke konsumen (farm to fork) yang dapat memetakan risiko dan mengatasi masalah keamanan pangan jika terjadi,” katanya.

Ia menjelaskan, tanggung jawab untuk standar keamanan pangan, sertifikasi pra-pasar, dan pengawasan pasca-pasar yang menjadi tanggung jawab Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan, dan pemerintah kota / kabupaten juga masih belum diimplementasikan secara efektif.

Proses pendaftaran yang rumit, salah satunya, membuat perusahaan-perusahaan kecil tidak mendaftarkan usaha makanan dan restoran mereka sebelum memasuki pasar daring. Sementara itu, kurangnya kapasitas dan koordinasi di antara lembaga-lembaga pemerintah menghambat pengawasan pascapasar yang efektif.

Untuk memperkuat sistem keamanan pangan untuk layanan pesan antar daring, pemerintah kota dan kabupaten harus mengurangi hambatan. Salah satunya terkait pendaftaran, sebagai persyaratan untuk masuk ke pasar bagi perusahaan skala rumah tangga/kecil.

Proses sertifikasi pra-pasar harus sederhana, memberikan pengetahuan pada pedagang tentang standar keamanan pangan, dan memfasilitasi pemantauan dan penelusuran masalah keamanan pangan.

“Pemerintah perlu melibatkan sektor swasta dalam penyusunan regulasi karena sektor swasta merupakan pihak yang terlibat langsung di dalam layanan ini. Kemampuan teknis platform online beserta inisiatif yang telah mereka lakukan secara mandiri bisa menjadi masukan yang berguna pada saat perumusan regulasi,” ungkapnya.

Ia menuturkan, pemerintah melalui BPOM telah menerbitkan Peraturan BPOM Nomor 8 Tahun 2020 yang telah efektif sejak 7 Juli 2020. Menurut dia, regulasi tersebut perlu dievaluasi efektivitasnya dalam meningkatkan keamanan pangan saat ini.

Kepala Sub Direktorat Inspeksi Pangan Steril Komersial, BPOM, Chairun Nisa, mengatakan, sejumlah regulasi antar kementerian dan lembaga pemerintah telah lengkap. Termasuk yang mencakup aspek perlindungan konsumen.

Pelaku usaha, kata dia, wajib untuk menjamin keamanan dan mutu pangan yang diedarkan, tak terkecuali secara daring. Sementara itu, pelaku usaha atau pihak ketiga dalam melaksanakan pengiriman harus menjaga agar kondisi kemasan produk tetap baik saat pengiriman.

"Misalnya dalam wadah tertutup, dan kondisi produk harus dijaga sesuai karakteristik produk," kata Nisa dalam kesempatan yang sama.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement