Selasa 15 Sep 2020 17:16 WIB

CIPS: Keamanan Pangan Pesan Antar Belum Ideal

Keamanan pangan cenderung under reported.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Fuji Pratiwi
Pengendara ojek online membawa pesanan makanan di salah satu rumah makan di kawasan Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta, Senin (14/9). Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengatakan, keamanan pangan layanan pesan antar masih belum ideal.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pengendara ojek online membawa pesanan makanan di salah satu rumah makan di kawasan Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta, Senin (14/9). Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengatakan, keamanan pangan layanan pesan antar masih belum ideal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengatakan, layanan pesan antar makanan di era pandemi Covid-19 semakin meningkat. Namun di sisi lain, tingkat keamanan pangan masih belum ideal. Kerja sama antara pemerintah dan swasta diharap ditingkatkan.

"Fakta mengenai ini belum ada yang akurat karena keamanan pangan cenderung under reported. Cenderung belum banyak orang yang mau melapor," kata Head of Research CIPS, Felippa Amanta, dalam webinar yang digelar Selasa (15/9).

Baca Juga

Seiring pandemi Covid-19, Felippa mengatakan jasa layanan pesan antar tentunya akan menjadi salah satu pilihan utama konsumen. Sebab, konsumen tak perlu keluar rumah dan bebas memilih makanan yang ingin dikonsumsi.

"Covid-19 mendorong layanan penggunaan layanan pesan antar makanan daring. Seperti lewat marketplace, aplikasi, restoran ke konsumen, media sosial, dan aplikasi. Karena itu butuh perhatian khusus untuk keamanan pangan," kata Felippa.

Sayangnya, kata dia, keamanan pangan di Indonesia masih belum ideal. Ia menuturkan, fakta-fakta soal keamanan pangan belum ada yang akurat karena kasusnya cenderung belum terlaporkan. Itu dikarenakan masyarakat Indonesia yang masih belum banyak melapor.

Namun, Felippa memaparkan, dari data yang ia peroleh, kurun waktu tahun 2000-2015, Indonesia mencatat 61.119 kasus penyebaran keracunan makanan. BPOM pada tahun lalu juga memeriksa total 23.463 sampel makanan terdaftar dan tidak terdaftar. Dari hasil pemeriksaan tersebut, 14 persen sampel tidak memenuhi syarat dan ketentuan keamanan pangan.

Menurut dia hal itu mencerminkan rendahnya tingkat kepatuhan penjual makanan. Namun di sisi lain, terdapat kendala yang dihadapi penjual, yakni proses perizinan yang rumit dan menghambat usahanya untuk bisa mendaftarkan produknya ke lembaga resmi.

Pengawasan pasca pasar juga dinilai kurang efektif karena keterbatasan sumber daya manusia dan dana. Hal lain, yakni kapasitas pemerintah daerah yang berbeda dan kurangnya kapasitas keterlacakan makanan.

Felippa menambahkan, kebijakan di beberapa daerah terkait larangan kantong plastik juga menjadi tantangan tersendiri. Sebab, penjual harus mencari alternatif lain yang aman untuk mengemas produk makanannya sebelum diantar.

Ia pun menyarankan agar ada penyederhanaan sertifikasi prapasar untuk industri rumah tangga. Pemerintah dan swasta juga harus punya pengaturan bersama agar harapan peningkatan keamanan pangan bisa terwujud. Selain itu, larangan kantong plastik menurutnya perlu dievaluasi khususnya untuk proses pengantaran makanan olahan.

"Keamanan makanan adalah tanggung jawab bersama. Mulai dari penjual, pengantar, dan konsumen," kata Felippa.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement