REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- China mengatakan bahwa salah satu kapalnya berpatroli secara normal di perairan di bawah yurisdiksinya. Pernyataan itu sebagai respons atas laporan Indonesia bahwa kapal penjaga pantai China telah memasuki zona ekonomi eksklusifnya (ZEE).
"Hak dan kepentingan China di perairan yang relevan di Laut China Selatan sudah jelas," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Wang Wenbin dalam konferensi pers, Selasa.
Menurut Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI Laksamana Madya Aan Kurnia, kapal patroli China memasuki ZEE di 200 mil lepas pantai Kepulauan Natuna utara pada Sabtu (12/9) dan menyingkir pada Senin (14/9) setelah dilakukan komunikasi radio.
Di bawah hukum internasional, kapal asing diizinkan melalui ZEE suatu negara, tetapi Aan menyebut kapal tersebut terlalu lama berada di ZEE Indonesia. Karena yang ini mengapung, lalu berputar-putar, kami menjadi curiga, kami mendekatinya dan mengetahui bahwa itu adalah kapal penjaga pantai China," kata dia kepada Reuters.
Indonesia mengganti nama bagian utara ZEE-nya pada 2017 menjadi Laut Natuna Utara, mendorong kembali ambisi teritorial maritim China. Meskipun China tidak mengklaim pulau-pulau, kehadiran penjaga pantainya yang hampir 2.000 kilometer di lepas daratannya telah mengkhawatirkan Indonesia, setelah banyak pertemuan antara kapal-kapal China di ZEE Malaysia, Filipina, dan Vietnam, yang mengganggu penangkapan ikan dan kegiatan energi.
Kebuntuan selama sepekan terjadi 10 bulan lalu ketika sebuah kapal penjaga pantai China dan kapal penangkap ikan yang menyertainya memasuki Laut Natuna Utara. Hal itu mendorong Indonesia untuk mengirim jet tempur dan memobilisasi nelayannya sendiri.
Penjaga pantai China sering beroperasi di samping kapal penangkap ikan yang digambarkan oleh para ahli sebagai misi yang didukung negara. "Sembilan garis putus-putus" di peta China menunjukkan klaim maritimnya yang luas termasuk perairan di lepas Kepulauan Natuna. Panel arbitrase internasional pada 2016 membatalkan garis tersebut.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Teuku Faizasyah menegaskan kembali bahwa Jakarta tidak mengakui garis tersebut.