REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) KH Noor Achmad, menilai pemberian sertifikat kepada penceramah harus dilakukan oleh lembaga independen. Lembaga ini pula yang harus menjalankan program tersebut.
"(Yang mengeluarkan sertifikat penceramah) harusnya lembaga yang independen, yang memang dibentuk oleh ormas dan MUI, tetapi bekerja sama dengan Kementerian Agama, karena dia yang punya dana," ujar Kiai Noor kepada Republika.co.id, Rabu (16/9).
Lembaga tersebut untuk menghindari kerancuan dalam mengeluarkan sertifikat. "Karena ini sensitif, perlu bekerjasama dengan pemerintah. Jangan sampai misalnya yang satu mengeluarkan sertifikat, tetapi yang lain tidak, lalu muncul konflik. Ini juga harus dijaga," katanya.
Menurut Kiai Noor, lembaga independen itu harus diisi oleh perwakilan dari MUI, ormas Islam, dan juga Kemenag. Dia menyampaikan, perlu ada 'wasit' untuk menentukan siapa-siapa saja yang patut mendapatkan sertifikat penceramah.
"Siapa wasitnya? Itu adalah orang-orang MUI atau ormas-ormas. Boleh saja (lembaga) yang dibentuk oleh MUI, bekerja sama dengan Kemenag," katanya.
Kiai Noor juga berpandangan, pakar bahasa sebetulnya juga perlu dilibatkan. Pakar ini untuk menilai rekam jejak seorang dai dalam menyampaikan dakwah. Umpamanya apakah pernah menyampaikan kalimat-kalimat yang menghujat, radikal, dan semacamnya.
"Ini nanti yang menilai dari pakar-pakar bahasa," katanya.
Dengan begitu, sertifikat penceramah ini diberikan secara obyektif dan bukan atas dasar suka tidak suka. "Kriterianya harus jelas. Misalnya yang menyampaikan ajaran Islam yang sesat, yang mengajak berantem, yang mengkafir-kafirkan, yang menyalahkan, yang menghujat, yang mengajak perang. Karena yang begini ini muncul di media sosial," ujarnya.