Rabu 16 Sep 2020 19:13 WIB

Sosiolog: Pelibatan Preman Itu Ironi Kuadrat

Pelibatan jeger tersebut malah berpotensi menimbulkan masalah baru di kalangan publik

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Agus Yulianto
Preman diringkus polisi (ilustrasi)
Preman diringkus polisi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiologi Perkotaan UIN Jakarta Tantan Hermansah menilai, kontradiktif kebijakan pemerintah melalui kepolisian republik Indonesia terkait pelibatan 'jeger' atau preman dalam penegakan disiplin protokol kesehatan pencegahan Covid-19 di tengah publik. Dia menegaskan, preman justru hidup ditengah ketidakdisiplinan dan bertentangan dengan norma masyarakat.

"Kalau kemudian preman malah menjadi bagian dari institusi penegakan disiplin itu malah ironi kuadrat, sudah jelas nggak disiplin, mereka juga blm tentu bisa disiplin," kata Tantan Hermansah kepada Republika di Jakarta, Rabu (16/9).

Dia melanjutkan, pelibatan jeger tersebut malah berpotensi menimbulkan masalah baru di kalangan publik. Dia mengatakan, bukan tidak mungkin preman-preman tersebut justru akan mentransaksikan ketidakdisplinan masyarakat untuk kepentingan jangka pendek mereka.

"Basis utama kehidupan mereka adalah transaksi, kalau jadi penegak mereka bisa menjadi kelompok baru yang selalu bertransaksi dan ini masalah yang tidak kalah beratnya," katanya.

Dia menilai, bahwa melibatkan entitas preman untuk menangani kedisiplinan masyarakat terkait pandemi Covid-19 jelas-jelas tidak efektif dan jauh dari manfaat. Dia mengatakan, langkah itu juga menunjukan kebuntuan pemerintah dan aparat dalam hal cara mendisiplinkan masyarakat.

Dia tidak membantah bahwa entitas preman juga bagian dari masyarakat dan ada dalam subsistem kehidupan yang tidak bisa dilepaskan. Tetapi, sambung dia, upaya memformaliasasi kalangan ini menjadi bahian dari suatu sistem justru akan mengancam sistem itu sendiri.

"Bisa jadi malah lebih jauh akan memperburuk citra kepolisian," katanya.

Menurutnya, pemerintah dan otoritas negara lebih baik memanfaatkan warga yang terancam kehilangan pekerjaan atau malah sudah di PHK untuk menegakaan disiplin. Dia mengatakan, warga yang masuk dalam kategori tersebut justru akan memiliki motivasi dan kedisiplinan yang lebih untuk menegakan peraturan di tengah masyarakat.

"Itu jauh lebih stategis karena mereka kelompok biasa kerja dan mungkin memeiliki etos serta nilai-nilai bermanfaat dalam kehidupan," katanya.

Seperti diketahui, Wakapolri Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono mengungkapakam bahhwa kepolisian akan memanfaarkan jeger atau preman dalam menegakan disiplin masyarakat. Mereka akan ditempatkan di lokasi keramaian seperti pasar, perkantoran, stasiun, hingga terminal.

Dia menjelaskan, salah satu upaya penegakkan protokol Covid-19 yakni membangun kesadaran kolektif karena kepolisian dan aparat tidak mungkin berada di suatu lokasi setiap hari. Dia mengatakan, hal itu membutuhkan upaya semua pihak, terutama tokoh tertentu dalam suatu komunitas.

"Komunitas itu apa saja, ada komunitas perkantoran, pasar, hobi, pasar, ojek, motor besar yang semuanya mempunyai pimpinan formal dan informal," katanya.

Gatot menjelaskan, membangun kesadaran kolektif relatif mudah dilakukan di tempat atau komunitas terstruktur, misalnya perkantoran, mal atau pasar pemerintah. Sebab ada pimpinan resmi dari tempat tersebut.

Namun, ada komunitas yang tidak memiliki struktur resmi namun memiliki tokoh yang dianggap penting oleh komunitas tersebut. Gatot mencontohkan pasar tradisional, di mana kerap ada 'jeger' atau preman yang selalu berada di dekat mereka.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement