REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Masteria Yunovilsa Putra mengatakan Indonesia merupakan perpustakaan besar untuk penemuan obat baru. Indonesia memiliki kekayaan dan keanekaragaman hayati yang melimpah.
"Keanekaragaman hayati tumbuhan dan organisme laut Indonesia seperti perpustakaan besar untuk penemuan obat baru," kata Masteria dalam seminar internasional virtual tentang Biodiversitas Indonesia 'Mainstreaming Biodiversity Conservation, Bioprospection, and Bioeconomy for Sustainable Livelihood', Rabu (16/9).
Masteria menuturkan biodiversitas Indonesia menyimpan potensi besar untuk penemuan dan pengembangan obat. Diperkirakan 28 ribu jenis tumbuhan ada di hutan tropis Indonesia.
Indonesia dikenal sebagai negara mega keanekaragaman hayati di darat, yang menempati posisi kedua setelah Brasil. Indonesia juga memiliki sumber keanekaragaman hayati laut yang kaya.
Masteria menuturkan tanaman telah dimanfaatkan sebagai obat herbal tradisional sejak berabad-abad lalu. Kekayaan keanekaragaman jenis tumbuhan Indonesia yang melimpah memiliki peluang untuk dikembangkan untuk industri farmasi.
Masteria menuturkan lautan, yang mencakup lebih dari 70 persen wilayah Indonesia, merupakan sumber daya yang hampir belum dimanfaatkan untuk penemuan obat baru yang potensial. Lebih dari 100 senyawa laut telah diisolasi dari organisme laut Indonesia, seperti spons, soft coral, tunicate, alga, dan dilaporkan di lebih dari 70 publikasi
Organisme laut seperti bakteri, jamur, mikro-dan makro-alga, sianobakteri (cyanobacteria) dan invertebrata laut menghasilkan bahan dengan berbagai aktivitas biologis, misalnya antikanker, antibakteri, antivirus. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengklasifikasikan obat tradisional menjadi tiga kelompok, yaitu jamu tradisional, jamu terstandar, dan fitofarmaka.
Tanaman dapat menjadi sumber bahan baku obat seperti untuk penyakit Alzheimer, agen antikanker, obat antivirus, dan obat antimalaria. Namun, Masteria menuturkan butuh waktu bertahun-tahun dan proses panjang untuk membuat agen terapeutik yang laku secara komersial.
Selama beberapa dekade terakhir, para peneliti berfokus pada penemuan obat dari obat-obatan herbal atau sumber tumbuhan. Sebuah studi baru pada 2020 memperkirakan median cost untuk memasukkan obat baru ke pasar adalah 985 juta dolar AS, dan biaya rata-rata (average cost) adalah 1,3 miliar dolar AS.
Dari sekian banyak calon obat, ada satu obat yang akan dipasarkan. Obat tersebut harus melalui lima tahapan yakni penemuan dan skrining (skrining menyeluruh dan validasi target), pengoptimalan (desain obat berbasis kimia/ struktur), ADMET (adsorpsi, distribusi, metrik, ekskresi, studi toksisitas), uji klinis (uji klinis tahap 1, 2 dan 3), persetujuan dan perizinan sebagai obat baru.
Profesor dalam bidang Farmasi dan Kimia di Oregon State University, Amerika Serikat, Taifo Mahmud mengatakan sekitar 70 persen antibiotik yang diisolasi pada 1940-an dan 1950-an berasal dari bakteri tanah (actinomycetes). "Kebanyakan antibiotik yang kita gunakan saat ini adalah antibiotik yang ditemukan pada 1940-an, 1950-an atau 1960-an," ujarnya.
Penemuan dan pengembangan produk alami untuk obat merupakan kegiatan yang melelahkan dan menghabiskan banyak waktu karena proses yang cukup panjang dan dana yang tidak sedikit.