REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Dalam penulisan sejarah Islam, penyelewengan kerap terjadi. Apalagi bila sejarah tersebut ditulis oleh orang yang tidak suka pada Islam, terutama sebagian orientalis. Mereka kerap menuliskan data sejarah yang bertentangan dengan referensi yang disajikan oleh kalangan sejarawan Muslim.
Di antara bentuk penyimpangan yang sering dilakukan kalangan orientalis ini adalah memutaralikkan maksud nash (teks) secara sengaja dengan tujuan membuat kesimpulan-kesimpulan yang tidak ada hubungannya dengan nash tersebut.
Bentuk penyimpangan lainnya adalah dengan cara menambah atau menghilangkan beberapa kalimat, sehingga nash tersebut memberikan makna yang tidak ada lagi kaitannya dengan nash itu sendiri.
Muhammad Quthb dalam bukunya yang berjudul Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam? menjelaskan, orientalis sering menggunakan riwayat yang lemah yang terdapat dalam referensi Islam yang belum disaring. Riwayat itu lalu dijadikan pegangan pokok, sedangkan riwayat yang lain walaupun muttawatir (kuat) akan dikesampingkan.
Dalam tulisannya yang bertajuk 'Metodologi Penulisan Barat mengenai Sejarah Islam', Dr Abdul Azhim ad-Daib mengemukakan beberapa kesalahan yang dilakukan kaum orientalis, di antaranya perkataan Montgomery Watt: ''Kami ketahui dari beberapa riwayat bahwa Muhammad itu mendukung kawin asy-syighar yaitu dua orang lelaki, atau dua kelompok lelaki saling mempertaruhkan anak dan saudara perempuan mereka tanpa mahar untuk kawin.'' Riwayat ini dinisbahkan kepada Bukhari. Padahal, umat Islam tahu benar bahwa Nabi SAW melarang hal tersebut.
Sejarawan Barat lainnya, Wall Deorant, dengan mengutip suatu buku ia berkata, ''Zubair memiliki 1.000 budak peliharaan. Setiap hari mereka membayar upeti pada Zubair. Setiap masuk ke rumahnya satu dirham langsung ia sedekahkan uang itu semuanya.'' Kemudian nash ini diubah oleh Deorant sebagai berikut, ''Zubair memiliki beberapa buah rumah di berbagai kota, memiliki 1.000 kuda dan 10 riibu hamba.'' Jadi, kehidupan zuhud dia ubah ke kehidupan glamour dan berfoya-foya.
Quthb menerangkan, tujuan dari penyimpangan itu untuk memupus dan menghilangkan rasa bangga pada Islam dan sejarah Islam di dalam jiwa pembaca Muslim. Kemudian, mengubah rasa bangga dengan rasa kesal dan benci, sehingga pembaca tidak berminat lagi membacanya pada masa-masa berikutnya.
Bahkan, dalam mencapai sasaran itu mereka tidak segan-segan melakukan kebohongan ilmiah atas diri Rasulullah SAW. Contohnya seperti yang dikatakan Julius Wellhausen dalam bukunya yang berjudul Negara Arab, bahwa Rasulullah SAW pernah membuat perjanjian dengan orang-orang Yahudi ketika beliau masih lemah pada awal pemerintahannya di Kota Madinah. Tapi, tatkala sudah kuat beliau membatalkan janji tersebut secara sepihak, orang-orang Yahudi diperangi dan dibersihkan dari Kota Madinah.
Contoh lain adalah tentang Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Dikatakan bahwa kedua khalifah ini merampas tahta kekhalifahan dari tangan umat Islam. Dan masih banyak lagi kebohongan yang mereka lakukan, mungkin mencapai ratusan atau lebih.
Sementara para sejarawan Muslim yang terbiasa mengutip pemikiran-pemikiran orientalis mungkin keberatan menerima kebohongan-kebohongan nyata seperti ini. Namun demikian, mereka tidak bisa lepas dari pengaruh orientalis. Mereka menerima penyimpangan-penyimpangan tersebut tanpa penyaringan.