REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memproyeksikan, ekonomi Indonesia akan turun lebih dalam dari perkiraan semula pada tahun ini. Tapi, tren pemulihan yang terakselerasi lebih cepat akan membantu ekonomi Indonesia tumbuh lebih baik pada 2021.
Prediksi ini disampaikan OECD dalam laporan terbarunya, OECD Economic Outlook, Interim Report September 2020 yang dirilis Rabu (16/9).
Dalam laporannya, OECD memproyeksikan, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2020 terkontraksi 3,3 persen, lebih dalam dibandingkan perkiraan pada Juni, yakni kontraksi 2,8 persen. Sedangkan, pada 2021, ekonomi diperkirakan bisa tumbuh 5,3 persen, naik tipis dari perkiraan OECD semula, 5,2 persen.
Prediksi kontraksi lebih dalam juga terlihat pada ekonomi India. Bahkan, perbedaannya mencapai 6,5 persen. Pada outlook Juni, OECD memperkirakan, ekonomi India tumbuh negatif 3,7 persen. Tapi, selang tiga bulan, OECD memproyeksikannya kontraksi 10,2 persen.
India bisa pulih tahun depan dengan pertumbuhan 10,7 persen, naik 2,8 persen dibandingkan perkiraan OECD semula, 7,9 persen.
OECD menyebutkan, PDB beberapa negara diperkirakan kontraksi karena pandemi Covid-19 terus berlanjut. Penurunan terjadi pada seperlima dari ekonomi pasar maju maupun berkembang. Tanpa kebijakan yang cepat dan efektif di semua negara, kontraksi bahkan diperkirakan terus berlanjut dan lebih dalam sampai akhir tahun.
Output sempat meningkat dengan cepat setelah adanya pelonggaran pembatasan aktivitas sosial dan ekonomi di banyak negara. Tapi, masih banyak faktor yang menghambat. Di antaranya, pengeluaran rumah tangga terhadap jasa, terutama yang membutuhkan interaksi antara konsumen dengan pekerja, ataupun perjalanan internasional, masih tetap landai.
"Investasi perusahaan dan perdagangan internasional tetap lemah. Ini menahan pertumbuhan sektor manufaktur di banyak negara yang berorientasi ekspor," seperti dikutip Republika dari laporan OECD, Kamis (17/9).
Berbeda dengan proyeksi di Indonesia dan India, ekonomi global tidak akan seburuk yang diperkirakan sebelumnya. OECD memprediksi, PDB global turun 4,5 persen pada tahun ini, lebih baik dibandingkan kontraksi enam persen yang diperkirakan pada Juni. Ekonomi global akan kembali pulih dan tumbuh lima persen tahun depan.
Seluruh prospek ini masih bergantung pada ketidakpastian yang cukup besar karena pandemi amsih terus berlanjut. Prospek OECD juga mengasumsikan, wabah lokal sporadis akan berlanjut dan vaksin belum tersedia sampai akhir 2021.
OECD juga meningkatkan prediksinya untuk Amerika Serikat. Sebelumnya, Negeri Paman Sam diperkirakan kontraksi 7,3 persen, namun kini sudah jauh lebih baik dengan prediksi kontraksi 3,8 persen.
Cina diperkirakan menadi satu-satunya negara dalam kelompok 20 ekonomi terkuat (G20) yang tumbuh pada 2020. OECD memproyeksikan, Cina bisa tumbuh 1,8 persen, bukan menyusut 2,6 persen, seperti yang diperkirakan pada Juni.
Organisasi yang berbasis di Paris ini memberikan saran kepada negara-negara maju tentang kebijakan ekonomi, mendesak pemerintah untuk tidak menaikkan pajak atau memotong belanja pada tahun depan. "Untuk menjaga kepercayaan dan membatasi ketidakpastian," tulis OECD.
Dukungan fiskal dan moneter untuk ekonomi tetap perlu dipertahankan. Kepala Ekonom OECD Laurence Boone mengatakan, semuanya perlu dilakukan untuk memperkuat kepercayaan sekaligus menjadi kunci pemulihan dan mengakselerasinya secara lebih cepat serta berskala besar.
Pemerintah, khususnya, perlu terus membantu masyarakat untuk mencari pekerjaan dan mendukung investasi. "Pesan pertama yang ingin kami kirinkan, jangan mengulangi kesalahan masa lalu, jangan mencabut dukungan fiskal terlalu dini," kata Boone.