REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Karta Raharja Ucu
Sekitar jam 03.15, putri kedua bangun dari tempat tidurnya dan membangunkan saya minta dibuatkan susu. Hari ini, tanggal 17 September, hari di mana dia lahir. Saya hanya kecup pipinya sembari berdoa untuk dia, lalu membisikan hal baik di telinga kanannya sebelum tidur, kebiasaan yang saya lakukan kepada ketiga anak saya.
Tanggal 17 September juga hari lahir almarhum ibu. Jika masih hidup, hari ini usianya 76 tahun. Hari lahirnya sama dengan putri saya. Namun, kami tidak merayakan ulang tahun. Tak ada perayaan tiup lilin setelah tahu itu kebiasaan yang meniru kaum Majusi.
Dini hari itu, bukan hanya teringat ibu, tiba-tiba terlintas sosok Abah Alwi Shahab. Salah satu pria yang menjadi panutan saya di kantor. Sudah lebih dari satu tahun saya tidak bertemu beliau. Terakhir silaturahim ke rumah dan melihat wajah beliau sekitar bulan Juli 2019. Setelah itu hanya silaturahim via pesan WA lewat anaknya, apalagi di masa pandemi.
Setelah Subuhan, saya membuka ponsel. Seperti biasa, melihat WA-grup penugasan. Rutinitas sehari-hari. Pagi itu ada pesan WA dari Vera Shahab, putri Abah Alwi. Pikiran saya berkecamuk, takut. "Lah kok kenapa dini hari Kak Vera WA?"
Dan ketakutan itu benar adanya, pesan itu menyampaikan kabar duka: "Assalamualaikum. Pak Karta, Abah Alwi sudah meninggal dunia, Kamis, jam 03.00. Mohon maaf ats segala khilaf dan salah. Sampaikan maaf utk teman-teman Republika."
Pesan itu tak saya balas. Saya langsung menelepon Kak Vera. Tak tersambung. Kedua kalinya, nomor yang dihubungi sedang dalam panggilan lain. Telepon Kak Vera sibuk.
Puluhan pesan duka masuk di grup WA kantor. Rekan-rekan kantor dari senior hingga junior yang mungkin belum mengenal Abah menghaturkan ucapan duka. Ada yang memberikan kesan, banyak yang menyampaikan ceritanya bersama Abah. Semuanya baik. Alhamdulillah.
"Abah mengajarkan kita banyak hal. Tentang hidup dan menjalani profesi wartawan. Selamat jalan Abah. Semoga husnul khatimah," pesan Mas Subroto, Redaktur Pelaksana Koran Republika.
"Begitu suka sama orang. Abah royal," kata Kang Elba Damhuri, Redaktur Pelaksana Republika.co.id.
Abah Alwi, adalah pribadi yang menyenangkan. Bicara kebaikan, mungkin tidak akan ada rekan-rekan di kantor yang mengenal beliau akan berbicara negatif. Tak hanya dihormati dan disegani, Abah juga dicintai rekan-rekan kerjanya.
Bicara integritas, dedikasi, loyalitas, Abah tidak ada duanya. Beliau sudah melewati fase Indonesia dipimpin tujuh presiden. Beliau wartawan Istana semasa Presiden Sukarno. Kenal dekat dengan keluarga Presiden Soeharto, pernah meliput Presiden Habibie. Karena itu, cerita-cerita Abah selalu hidup karena berdasarkan pengalaman.
Abah bagi saya bukan hanya sekadar rekan kerja atau teman berdiskusi. Saya menemukan sosok ayah di dalam diri Abah Alwi. Kebetulan, almarhum bapak saya lahir di tahun yang sama dengan Abah, 1936.
Di rentan tahun 2013 sampai 2015, Abah masih sering datang ke kantor. Beliau sempat pensiun, tapi meminta untuk kembali bekerja karena tak mau masa tuanya hanya dihabiskan di rumah tanpa menulis. Rubrik Nostalgia Abah Alwi di Republika.co.id masih sering terisi oleh cerita-cerita pengalaman Abah.
"Kalau bercerita ke you, Karta, Abah jadi semangat lagi."