REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG — Problem pendidikan yang masih dihadapi di Indonesia tidak hanya berkutat pada persoalan kemiskinan dan akses pendidikan yang menyebabkan banyaknya anak- anak putus sekolah atau mereka yang harus mengubur mimpi untuk melanjutkan pendidikannya.
Di luar kedua persoalan tersebut, sistem pendidikan bangsa ini juga masih menghadapi berbagai problem, salah satunya adalah bagaimana mereka (anak- anak) benar- benar mendapatkan manfaat yang sebenarnya dari bersekolah.
Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal mengatakan, di negeri ini ada sekitar 4,5 juta anak putus sekolah. Rinciannya putus sekolah usia SMA sebesar 2,45 juta anak, SMP 0,9 juta anak dan SD sekitar 1,25 juta anak.
Namun krisis putus sekolah tersebut hanyalah ujung dari fenomena gunung es dan belum menyentuh persoalan anak-anak yang masih bersekolah tetapi mereka tidak benar- benar bersekolah.
“Artinya, mereka tidak menikmati bersekolah, bahkan mereka juga tidak benar- benar mendapatkan manfaat dari bersekolah,” jelasnya, saat memberikan Pendampingan Gerakan Sekolah Menyenangkan untuk Kepala Sekolah SMA se-Kabupaten Pati, Kudus dan Rembang, Rabu (16/9).
Menurutnya, alasannya bukan karena negara tak cukup banyak mengeluarkan uang bagi sektor pendidikan. Karena Indonesia mengalokasikan lebih banyak uang sejak reformasi, yakni sebesar 20 persen dari APBN atau sebesar Rp 492,5 triliun (2019).
Di mana sekitar Rp 305 triliun di antaranya dibagikan ke daerah dan sisanya dialokasikan untuk ke kementerian, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) atau sekitar Rp 40 triliun.
Di lain pihak, juga ada ratusan inisiatif setiap tahun untuk mencoba memperbaiki sistem pendidikan di negeri ini. “Yang menjadi permasalahan, semuanya masih berjalan ke arah yang ‘salah’,” tegasnya, dalam keterangan pers yang diterima Republika, Kamis (17/9).
Rizal juga menjelaskan, ada tiga prinsip utama tentang bagaimana kehidupan manusia berkembang dan ternyata semuanya bertentangan dengan budaya pendidikan yang ada saat ini, hingga kebanyakan guru di sekolah harus bekerja keras dan kebanyakan siswa harus terus bertahan untuk melakukan pekerjaan- pekerjaan kognitif rutin.
Yakni prinsip bahwa manusia pada dasarnya berbeda- beda dan beragam. Setiap anak yang lahir akan memiliki potensi, talenta dan keminatan yang berbeda satu sama lain. “Sayangnya, Program Wajib Belajar 9 tahun atau (No child left behind yang didengungkan UNESCO) tidak didasarkan pada keragaman, tapi penyeragaman tersebut,” tegasnya.
Sekolah yang didorong untuk mengembangkan siswa dalam bidang- bidang yang sangat terbatas. Seharusnya siswa dididik melalui kurikulum yang yang membiarkan mereka mengembangkan berbagai talenta, kecakapan dan keminatan (passion) yang ada,
Yang kedua adalah prinsip yang mendorong kehidupan manusia berkembang adalah rasa ingin tahu. Namun di sekolah masih jamak ditemui seorang guru sedang mengajar di kelas, sayangnya tidak ada muridnya yang paham dan merasakan belajar yang sesungguhnya. Demikian halnya guru mungkin sedang merasa mengajar tapi sebenarnya tidak benar-benar mengajar.
Akibatnya, yang lahir adalah budaya kepatuhan (conformity). Siswa dan guru- guru diarahkan untuk mengikuti algoritma rutin, bukannya merangsang kekuatan imajinasi dan rasa keingintahuan tersebut.
Sedangkan prinsip ketiga, pada dasarnya kehidupan manusia adalah proses yang kreatif. Sehingga salah satu peran pendidikan adalah untuk membangunkan dan mengembangkan kekuatan kreatif itu. “Tapi sayangnya, kita lebih memilih budaya pendidikan yang menyeragamkan (standardisasi),” tegasnya.
Menurut Rizal, Indonesia bisa belajar proses transformasi pendidikan yang dilakukan oleh negara Finlandia, yang tidak terobsesi terhadap disiplin ilmu tertentu, tapi punya pendekatan yang luas terhadap pendidikan, termasuk kemanusiaan, olahraga, dan seni.
Selain itu, tujuan pembelajaran dan tugas guru adalah hadir untuk membantu dan memberi dukungan bagi muridnya yang mengalami masalah baik di sekolah atau luar sekolah. Pelajaran sosial emosional juga mendapat porsi besar guna membangun keseimbangan mental dan motivasi siswa menjadi manusia kreatif dan mandiri.
Umumnya negara maju, juga membuat sistem pengajaran dan pembelajaran individual (personalized learning). Karena mereka menyadari bahwa belajar harus memenuhi kebutuhan siswa.
Pendidikan di Negara maju juga membangun kebanggaan dan martabat tinggi bagi profesi guru. Maka dana pendidikan banyak dialokaskan untuk melatih dan terus memberi dukungan pengembangan profesionalisme pengajar.
Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) yang mengenal prinsip Berbagi secara kolegial antar guru, masih jelas Rizal, berkolaborasi melakukan joint practice development antar guru, Berubah menggunakan evidence based (berbasis riset dan praktik atau pengalaman nyata) serta melibatkan komunitas lokal pendidikan yang lebih luas.
Termasuk memberikan tanggung jawab pada masing- masing sekolah untuk mewujudkannya seperti program Merdeka Belajar yang diluncurkan Mentri Nadiem Makarim baru-baru ini.
Perbedaannya, mereka melakukannya dengan lebih sistematis. Peran Pemerintah Pusat atau daerah lebih membuat regulasi yang tidak bertentangan dengan prinsip kemerdekaan serta membangun iklim kondusif bagi guru untuk berani dan kreatif dalam mengajar.
Jadi, saran GSM kepada pemerintah adalah menjadi pemimpin yang hebat yang mengerti dan memiliki empati kepada akar rumput. Peran sejati para pemimpin dalam pendidikan bukanlah memerintah dan mengontrol.
Namun memberikan kebebasan untuk menjadi kreatif dan berinovasi dalam apa yang mereka lakukan. “Maka sekolah- sekolah yang dulu tak punya kehidupan menjadi hidup kembali,” lanjut Rizal.