REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang-Undang tentang Pilkada sebenarnya tidak mengatur eksplisit penyelenggaraan konser musik sebagai bentuk kampanye. Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, konser musik merupakan salah satu penerjemahan KPU atas ketentuan Undang-Undang (UU) Pilkada mengenai kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan perundang-undangan.
Ia meminta KPU mempertimbangkan kembali aturan yang memperbolehkan konser musik saat pilkada digelar kala pandemi Covid-19. "Pascamasifnya pelanggaran protokol kesehatan pada saat pendaftaran bakal calon 4-6 September 2020 lalu, KPU sebaiknya mempertimbangkan kembali soal konser musik di saat kampanye," ujar Titi dalam diskusi daring, Kamis (17/9).
Ia menjelaskan, ketentuan kegiatan lain tersebut diatur UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada Pasal 65 ayat (1) huruf g. KPU menerjemahkan ragam kegiatan yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pilkada.
KPU juga memasukkan aturan tersebut dalam PKPU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19. Kegiatan lain dapat dilaksanakan dalam bentuk rapat umum; kegiatan kebudayaan berupa pentas seni, panen raya, dan/atau konser musik; kegiatan olahraga berupa gerak jalan santai, dan/atau sepeda santai; perlombaan; kegiatan sosial berupa bazar dan/atau donor darah; peringatan hari ulang tahun partai politik; dan/atau melalui media sosial.
KPU memang telah membatasi kegiatan tersebut dengan jumlah peserta yang hadir maksimal 100 orang serta menerapkan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19. Selain itu, kampanye secara fisik harus dilakukan dengan koordinasi bersama perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dan/atau Satuan Tugas Penanganan Covid-19 setempat.
Namun, Titi menilai, konser musik berpotensi besar memicu keterlibatan massa yang bergabung melebihi jumlah maksimal 100 orang. Peserta di dalam lokasi kampanye bisa dibatasi, tetapi sangat sulit menghalau kehadiran pihak-pihak lain yang tertarik atau berminat untuk menyaksikan konser musik tersebut.
"Sebaiknya konser musik sepenuhnya dilarang saja demi kemaslahatan kampanye dan kepatuhan pada protokol kesehatan," kata Titi.
Sebab, kebisingan konser musik tidak hanya di lokasi acara dan bahkan bisa menjadi penarik minat masyarakat untuk bergabung dalam kegiatan tersebut. Apalagi, apabila konser musik melibatkan artis atau penyanyi populer yang bisa memikat banyak orang untuk berkumpul.
"Saya pesimistis dengan disiplin warga yang rendah dan komitmen aktor politik yang tidak meyakinkan, para pihak benar-benar bias mengendalikan konser musik saat kampanye dengan baik," tutur Titi.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Khairul Fahmi mengatakan, KPU memang mesti menjabarkan ketentuan kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan perundang-undangan itu. Jika tidak diatur, timbul permasalahan penegakan hukum ketika ada kegiatan yang tidak diatur tetapi berpotensi terjadinya pelanggaran.
"Jadi menurut saya tidak apa-apa itu diatur, didetailkan apa saja bentuknya, tetapi dalam Peraturan KPU itu juga ditentukan mana yang bisa dilaksanakan, mana yang tidak sesuai dengan standar protokol," kata Khairul.
Artinya, KPU tetap dapat memperbolehkan konser musik dan metode kampanye lainnya, tetapi ada pengecualian sehingga pada akhirnya tidak dapat dilaksanakan. Tidak dapat dilaksanakan karena ada aturan protokol kesehatan yang melarang kerumunan massa lantaran berisiko terjadinya penyebaran Covid-19.