REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Komisi VIII DPR memastikan akan menampung aspirasi berbagai pakar perihal RUU Penanggulangan Bencana. Agar saat disahkan nanti, menjadi produk hukum yang memperbaiki mitigasi bencana Indonesia.
“Kami juga membutuhkan partisipasi publjk dengan meminta masukan-masukan langsung dari ahlinya, kemudian melakukan kunjungan langsung di daerah yang rawan bencana agar (pembahasan) RUU ini semakin matang lagi,” ujar Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Syadzily dalam rapat dengar pendapat, Kamis (17/9).
Ia mengatakan, revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dibahas secara penuh oleh Komisi VIII. Revisi ini dilakukan karena penanganan bencana yang belum baik, ditambah dengan adanya bencana non-alam seperti pandemi Covid-19.
"Karena pengalaman menangani Covid-19 memperlihatkan banyak kelemahan dari UU sebelumnya,” ujar Ace.
Selain itu, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, mitigasi risiko, dan pencegahan bencana juga perlu diperkuat. Termasuk, dalam menetapkan status bencana sehingga berpotensi menimbulkan masalah hukum di masyarakat.
“Kita dari Komisi VIII akan bekerja penuh secara maksimal agar RUU ini dapat mempermudah penanggulangan bencana di Indonesia,” ujar Ace.
Sebelumnya, Menteri Sosial Juliari Batubara mengatakan, pemerintah sepakat dengan Komisi VIII DPR untuk membahas revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Di mana RUU tersebut sudah disahkan menjadi usulan DPR dalam rapat paripurna pada Selasa (12/5).
“Pemerintah pada prinsipnya sepakat untuk membahas bersama DPR RI Komisi VIII. Panjanya untuk kemudian nanti ada diskusi dan dinamikanya,” ujar Juliari.
Ia menjelaskan, RUU Penanggulangan Bencana akan mengakomodasi lebih banyak dan rinci terkait jenis bencana alam. Termasuk membahas penanggulangan bencana non alam, seperti pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini.
“Peran serta masyarakat, lembaga sosial, lembaga internasional, hal seperti ini kita usulkan akan diakomodasi di dalam undang-undang yang baru,” ujar Juliari.