Jumat 18 Sep 2020 17:06 WIB

6 Bekal Wajib Menuntut Ilmu dan Pengalaman Imam Syafii

Terdapat enam bekal wajib menuntut ilmu dalam Islam.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Terdapat enam bekal wajib menuntut ilmu dalam Islam. Ilustrasi menuntut ilmu agama.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Terdapat enam bekal wajib menuntut ilmu dalam Islam. Ilustrasi menuntut ilmu agama.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Salah satu kitab yang populer tentang pendidikan dan adab di lingkungan pesantren adalah kitab Ta’lim al-Muta’allim karya Syekh Az-Zarnuji.  

Kitab tersebut berisi nadzam (syair dan doa) tentang bagaimana seseorang dapat menuntut ilmu dengan diiringi adab. Salah satu bunyi petikan nadzam kitab tersebut yakni:  

Baca Juga

  أَخي لَن تَنالَ العِلمَ إِلّا بِسِتَّةٍ سَأُنبيكَ عَن تَفصيلِها بِبَيانِ ذَكاءٌ وَحِرصٌ وَاِجتِهادٌ وَبُلغَةٌ وَصُحبَةُ أُستاذٍ وَطولُ زَمانِ 

“Akhi Ala la tanalul ilma illa bi sittatin, sa-unabbiuka ‘an-tafshili’iha bibayanin. Dzaka-in wa hirtsin wa-sthibarin wa bulghatin. Wa irsyadi ustazin wa thuli zamanin.”  

Yang artinya: “Syarat mendapatkan ilmu itu ada enam. (Yakni) cerdas (sehat akal), rakus yaitu rakus dalam menyerap ilmu-ilmu, bersungguh-sungguh, cukupnya modal (harta, kemampuan, dan usaha yang keras), guru yang mengajarkan, dan waktu yang lama.”

Di dalam dunia pesantren, keenam elemen tadi wajib dimiliki para santri. Alasannya agar segala ilmu yang dipelajari santri tidak hanya ilmu instan yang dikhawatirkan berujung pada kesombongan dan merasa sudah paling pintar.

Di dalam Islam sendiri, perintah untuk menuntut ilmu telah digaungkan dengan keras. Yakni perintah untuk menuntut ilmu dari kandungan hingga liang lahat, artinya betatapun lamanya seseorang telah menempuh pendidikan formal di instansi apapun, sejatinya aktivitas menuntut ilmu dapat dilakukan di manapun dan kapanpun. Tak hanya itu, ilmu yang mulai pun harus dibarengi dengan tidak menjalankan aktivitas yang merugikan.

Dalam kitab I’anatut Thalibin, Imam Syafii bercerita: 

شَكَوتُ إِلى وَكيعٍ سوءَ حِفظي فَأَرشَدَني إِلى تَركِ المَعاصي وَأَخبَرَني بِأَنَّ العِلمَ نورٌ وَنورُ اللَهِ لا يُهدى لِعاصي 

“Syakautu ila Waki’i su-a hifzhi, fa-arsyadani ila tarkil-ma’ashi, wa akhbarani bi-anna-ilma nurun. Wa nurullahi la yuhda li-ashi.”  

Artinya: “Aku (Imam Syafii) pernah mengadukan kepada Imam Waki’i (guru beliau) tentang jelek (sulitnya) hafalanku. Lalu beliau mengatakan kepadaku untuk meninggalkan maksiat. Imam Waki’i berkata, sebab ilmu adalah caaya, dan cahaya Allah tidaklah diberikan kepada para ahli maksiat.”

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement