REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Israel akan menerapkan karantina wilayah secara nasional untuk kedua kali pada Jumat (18/9). Keputusan itu memaksa penduduk untuk tinggal di rumah di awal musim liburan bagi umat Yahudi sehingga memicu kemarahan secara luas.
Karantina awal negara itu diberlakukan pada akhir Maret dan mulai dilonggarkan pada Mei karena kasus-kasus baru berkurang karena mencapai posisi terendah dalam satu digit. Namun, dalam sepekan terakhir, kasus baru telah mencapai tertinggi dengan 5.000 per hari.
Laporan tersebut membuat pemerintahan Israel sekarang mengakui bahwa mereka mencabut karantina terlalu cepat. Hanya saja, keputusan memperlakukan karantina kembali membuat kemarahan dari warga yang berjuang di tengah kemerosotan ekonomi.
"Saya sangat menentang penguncian. Saya merasa ini adalah kesalahan pemerintah yang saya pilih, dan saya pikir kebebasan dan ekonomi kita dihancurkan oleh keputusan ini," kata penduduk di Yerusalem, David Khosid.
Karantina kedua akan dimulai pada pukul 14.00 waktu setempat dan akan berlangsung selama tiga minggu, bertepatan dengan dimulainya Tahun Baru Yahudi, Rosh Hashana. Momen itu yang secara tradisional merupakan waktu untuk pertemuan keluarga besar dan berdoa secara kelompok.
Aturan baru karantina wilayah itu membuat orang Israel hanya bisa pergi 500 meter dari rumah. Pengecualian diberlakukan untuk aktivitas seperti bepergian ke tempat kerja yang akan beroperasi secara terbatas. Jarak sosial dan batasan jumlah jamaah akan diberlakukan di sinagog.
Pejabat kesehatan menyalahkan kepatuhan yang tidak konsisten terhadap wajib memakai masker, jarak sosial yang buruk, dan infeksi di komunitas Arab dan ultra-Ortodoks Yahudi serta di sekolah-sekolah. Pelanggaran-pelanggaran tersebut memicu gelombang kedua lonjakan kasus di Israel.
Banyak orang Israel menuduh Perdana Menteri, Benjamin Netanyahu, lambat menanggapi gelombang baru itu. Ribuan orang berkumpul untuk protes mingguan di luar kediaman resminya di Yerusalem.