REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berharap pemerintah membenahi proses perizinan dalam perekrutan dan penempatan anak buah kapal (ABK) guna mempermudah penanganan dan pemenuhan hak korban apabila terjadi kasus perbudakan di kemudian hari.
"Dengan demikian, jika kembali terjadi kasus perbudakan yang menimpa ABK Indonesia, penanganan kasus dan pemenuhan hak-hak mereka sebagai korban bisa lebih mudah," kata Wakil Ketua LPSK Antonius P.S. Wibowo dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (18/9).
Menurut Antonius, setidaknya terdapat dua model perizinan perekrutan dan penempatan ABK yang berlaku di Indonesia, yaitu surat izin usaha perekrutan dan penempatan awak kapal (SIUPPAK) dan Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI).
Ia menjelaskan bahwa SIUPPAK menjadi domain Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, sedangkan SIP3MI menjadi domain Kementerian Ketenagakerjaan.
Kedua perizinan ini, kata dia, memiliki persyaratan dan prosedur yang berbeda meskipun keduanya berhubungan dengan penempatan ABK di luar negeri.
Dengan melakukan pembenahan dan penataan perizinan dalam perekrutan dan penempatan ABK sedari awal, dia berharap pendataan terhadap ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing lebih akurat.
Apabila terjadi permasalahan yang menimpa ABK Indonesia di kemudian hari, lanjut dia, perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak mereka bisa lebih mudah.
Namun, jika sejak proses perizinan data ABK sudah tidak valid, akan menyulitkan penegak hukum maupun pihak terkait lainnya, termasuk LPSK, dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak bagi ABK yang menjadi korban kejahatan.
"Poin penting ini hendaknya dapat segera diatasi dan dibenahi," ujar Antonius.
Merujuk pada data LPSK, permohonan perlindungan ABK mengalami kenaikan secara tajam pada 2 tahun terakhir. Jika pada tahun 2018, hanya ada enam permohonan, pada tahun 2020 terdapat 64 permohonan perlindungan.