REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernikahan merupakan momen yang penuh kebahagiaan, apalagi bagi pasangan mempelai pria dan wanita. Untuk itu, keluarga dari kedua belah pihak biasanya melangsungkan perjamuan atau walimah setelah akad nikah diikrarkan. Acara itu dimaksudkan sebagai bentuk syukur atas status baru yang dimiliki si pria dan wanita, yaitu sebagai suami-istri.
Resepsi pernikahan atau walimah merupakan tradisi yang telah diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada umatnya. Perintah untuk menggelar waliwah disampaikan Rasulullah SAW ketika putrinya, Fatimah RA, dipinang Ali bin Abi Thalib RA. Beliau bersabda, ”Sesungguhnya pada perkawinan harus diadakan walimah.” (Shahih Jami’us Shaghir no:2419 dan al-Fathur Rabbani XVI:205 no:175).
Di antara tuntunan Nabi SAW terkait penyelenggaraan walimah atau resepsi pernikahan ialah tidak berlebih-lebihan atau boros. Dalam surah al-Isra ayat 25, Allah berfirman, yang artinya, "Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros."
Janganlah walimah dijadikan sebagai momen untuk memamerkan kekayaan. Tidak perlu pihak tuan rumah memberatkan diri di luar kemampuannya. Apalagi, sampai berutang yang ditambah pula dengan riba hanya untuk terlihat prestise dalam beberapa hari pesta. Nabi SAW sendiri mencontohkan kesederhanaan dalam menyelenggarakan walimah.
Rasulullah SAW lalu mengundang kaum Muslimin untuk menghadiri walimahnya. Dalam walimah itu para undangan tak disuguhi roti maupun daging. Hidangan yang disajikan bagi para tamu undangan hanyalah kurma kering, gandum dan minyak samin. Hal ini dijarkan Rasullah untuk menghindarkan umat Islam terjerat dari utang, karena memaksakan diri mengadakan walimah di luar batas kemampuan.
Sebab, niat yang benar untuk melaksanakan walimah ialah bersyukur melalui berbagi. Karena itu, undanglah karib kerabat, tetangga dan rekan-rekan. Tidak hanya mempererat tali silaturahim, doa yang diucapkan dari lisan mereka juga insya Allah memunculkan keberkahan.
Dalam momen walimah, hendaknya pihak tuan rumah tidak melupakan kalangan fakir miskin dan orang-orang tak mampu. Jangan mengadakan pesta dengan mengundang hanya orang kaya. Sabda Nabi SAW, "Seburuk-buruk makanan adalah makanan pesta yang dilarang dimakan oleh orang-orang yang mendatanginya, sementara orang-orang yang menolak datang malah diundang."
Dalam riwayat Bukhari-Muslim, beliau bersabda, "Seburuk-buruknya hidangan adalah makanan walimah, yang diundang untuk menghadirinya hanyalah orang-orang kaya, sedangkan orang-orang fakir tidak diundang."
Adab islami juga berlaku bagi pihak yang diundang. Rasulullah SAW menyuruh umatnya untuk menghadiri undangan bila memang tak ada aral melintang yang menghalanginya untuk datang.
"Barangsiapa tidak memenuhi undangan, maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya," sabda beliau.
Bahkan, orang yang sedang berpuasa pun tetap diwajibkan untuk memenuhi undangan. Abu Said al-Khudri menuturkan, "Aku membuat makanan untuk Rasulullah SAW, lalu beliau datang kepadaku bersama para sahabat.
Ketika makanan dihidangkan, seorang dari mereka berkata, 'Sesungguhnya aku berpuasa.'
Rasulullah SAW kemudian mengatakan, 'Saudara kalian telah mengundang kalian dan mengeluarkan beban untuk kalian.'
Lalu, beliau mengatakan kepadanya, 'Batalkanlah puasamu, lalu puasalah satu hari sebagai gantinya jika engkau suka.' Beliau juga bersabda 'Apabila salah seorang di antara kalian diundang, maka penuhilah undangan itu. Jika ia berpuasa, maka hendaklah ia mendoakannya (si tuan rumah) dan jika tidak berpuasa, maka makanlah (hidangan yang disajikan tuan rumah).'"