REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tokoh ini lahir pada 7 Juli 1912. Buya Abdul Malik Ahmad, demikian namanya, berasal dari Nagari Sumanik, Kelarasan Tanah Datar (kini Sumatra Barat). Ia pernah menjadi wakil ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode 1971-1985.
Buya Abdul Malik dikenang sebagai pribadi yang teguh memegang prinsip. Bahkan, segelintir pihak menyebutnya “kontroversial.” Keteguhannya yang legendaris itu tergambar dalam peristiwa ormas-ormas Islam menanggapi Asas Tunggal pada zaman Orde Baru.
Pada 1980-an, pemerintahan Presiden Soeharto tampak memicu kontroversi di tengah umat. Sebab, rezim saat itu mengusung kebijakan Asas Tunggal, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3/1985 yang disahkan pada 19 Februari 1985. Isinya mengharuskan setiap organisasi di Tanah Air untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Fikrul Hanif Sufyan dalam buku Sang Penjaga Tauhid (2014) menjelaskan, wacana Asas Tunggal bermula dari bentrok fisik antara massa pendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta. Pemerintah yang waktu itu didukung Golkar melihat partai yang berhaluan kanan (agama) itu patut diwaspadai. Maka, dirancanglah tafsiran bahwa Pancasila—artinya, "bukan agama"—harus dijadikan sebagai asas satu-satunya dalam berorganisasi.
Rezim kala itu berdalih, Asas Tunggal diterapkan demi melindungi Pancasila dari rongrongan ekstrem kiri-kanan. Melalui penerapan Asas Tunggal, pemerintah yakin, konflik ideologi dapat dihilangkan sehingga pembangunan nasional tak terganggu.
Sejak munculnya wacana Asas Tunggal, PP Muhammadiyah merespons dengan hati-hati. Malahan, persyarikatan cenderung “terbelah” dalam menyikapinya.
Ada yang ingin organisasi ini bersikap akomodatif terhadap tekanan penguasa. Namun, ada pula yang ingin mengelak atau bahkan melawan hegemoni Orde Baru itu.
Di Muhammadiyah, Buya Abdul Malik Ahmad menjadi suara paling nyaring dari kubu anti-Asas Tunggal. Ia gigih mempertahankan agar persyarikatan tetap berasaskan Islam.
Fikrul Hanif mengatakan, berbagai strategi dilakukan tokoh asal Sumatra Barat itu untuk menyuarakan argumentasinya. Mulai dari kuliah tauhid, rapat pimpinan Muhammadiyah, kaderisasi, hingga selebaran-selebaran yang bertajuk “Menuju Shiratan Mustaqiima”, yang diedarkan beberapa bulan menjelang Muktamar ke-41 di Solo, Jawa Tengah.
Dalam artikelnya itu, Buya Abdul Malik memaparkan secara bernas sejarah perumusan Pancasila, termasuk peristiwa Piagam Jakarta. Baginya, pengubahan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah bentuk kekalahan politik pihak nasionalis Islam. Bagaimanapun, Dekrit Presiden Sukarno pada 5 Juli 1959 menjadi momen yang tak boleh dilupakan. Sebab, Bung Karno mengambil jalan tengah antara kubu nasionalis Islam dan sekuler, yakni dengan menegaskan, “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Namun, perjuangannya tak berhasil. Dalam sidang pleno Muktamar ke-41 tanggal 11 Desember 1985, Muhammadiyah akhirnya menerima Asas Tunggal. Hegemoni Presiden Soeharto—yang sempat datang membuka pertemuan akbar itu—memang diakui besar. Ketua PP Muhammadiyah AR Fachruddin memakai diplomasi “helm”. Yakni, Asas Tunggal diibaratkannya sebagai helm, yang wajib dipakai seorang pengemudi sepeda motor. Akan tetapi, helm itu sendiri tak mengubah apa pun dari jati diri sang pengemudi. Misalnya, ketika masuk masjid, ia dapat melepas helm itu.
Suara Buya Abdul Malik bukan berarti tak diindahkan sama sekali. Sebagai contoh, usulannya bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus dimaknai sebagai tauhid diterima secara aklamasi oleh peserta muktamar. Fikrul Hanif merangkum pandangan para tokoh Muhammadiyah era Orde Baru hingga Reformasi, seperti Amien Rais, AM Fatwa, Rusjdi Hamka, Goodwill Zubir, dan lain-lain. Mereka semua mengamini, Buya Abdul Malik pantas dijuluki sebagai “sang penjaga tauhid” di organisasi modernis ini, utamanya sepanjang era 1970-an hingga 1990-an.