REPUBLIKA.CO.ID, TEHRAN -- Revolusi Islam Iran 1970-an merupakan peristiwa penting yang mengganti persepsi tentang hubungan antara agama dan modernitas. Mobilisasi Ayatullah Khomeini menunjukkan bahwa modernisasi sama sekali tidak menyiratkan proses linier kemunduran agama.
Namun, data skala besar menunjukkan bahwa keyakinan beragama pasca-revolusi terus mengalami penurunan. Selama bertahun-tahun, penelitian dan gelombang penolakan dan kerusuhan menunjukkan kekecewaan besar orang-orang Iran dengan sistem politik mereka.
"Ini terus berubah menjadi kekecewaan yang sangat dirasakan dengan agama institusional," tulis Ammar Maleki adalah Asisten Profesor, Hukum Publik dan Pemerintahan Universitas Tilburg yang dikutip di Scroll, Jumat (18/9).
Juni lalu, lembaga penelitian yang fokus menganalisis dan mengukur sikap di Iran melakukan survei online yang berkolaborasi dengan Ladan Boroumand, salah satu pendiri Pusat Hak Asasi Manusia Abdorrahman Boroumand di Iran. Hasilnya memverifikasi sekularisasi masyarakat Iran yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sensus itu mengklaim bahwa 99,5% dari populasi adalah Muslim, sebuah angka yang menyembunyikan permusuhan aktif negara terhadap irreligiositas, konversi, dan agama minoritas yang tidak diakui. Orang Iran hidup dengan ketakutan akan pembalasan yang selalu ada, jika berbicara menentang negara.
Di Iran, seseorang tidak bisa begitu saja menelepon orang atau mengetuk pintu untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang sensitif secara politik. Itulah mengapa anonimitas survei digital menawarkan kesempatan untuk menangkap apa yang sebenarnya dipikirkan orang Iran tentang agama.
Sejak revolusi, tingkat melek huruf meningkat tajam dan populasi perkotaan meningkat pesat. Tingkat penetrasi internet di Iran sebanding dengan yang ada di Italia, dengan sekitar 60 juta pengguna dan jumlahnya terus bertambah, dimana 70 persen orang dewasa setidaknya mengakses satu platform media sosial.
"Untuk survei kami tentang keyakinan beragama di Iran, kami menargetkan beragam saluran digital setelah menganalisis grup mana yang menunjukkan tingkat partisipasi yang lebih rendah dalam survei skala besar kami sebelumnya," tulis Pooyan Tamimi Arab adalah Asisten Profesor Studi Keagamaan di Universitas Utrecht, salah satu peneliti dalam survei.
Tautan ke survei dibagikan oleh Kurdi, Arab, Sufi, dan jaringan lainnya. Survei tersebut juga dibagikan di beberapa platform media sosial seperti Instagram dan Telegram agar menjangkau lebih banyak massa.
"Setelah membersihkan data kami, kami memiliki sampel hampir 40.000 orang Iran yang tinggal di Iran. Sampel ditimbang dan diseimbangkan dengan target populasi warga Iran yang melek huruf berusia di atas 19 tahun, menggunakan lima variabel demografis dan perilaku memilih dalam pemilihan presiden 2017," jelas Arab.
"Hasil kami mengungkapkan perubahan dramatis dalam religiusitas Iran, dengan peningkatan sekularisasi dan keragaman agama dan keyakinan. Dibandingkan dengan angka sensus 99,5 persen di Iran, kami menemukan bahwa hanya 40 persen yang diidentifikasi sebagai Muslim," ujarnya menambahkan.
Berbeda dengan propaganda negara yang menggambarkan Iran sebagai bangsa Syiah, hanya 32 persen yang secara eksplisit mengungkapkan identifikasi mereka, sementara 5 persen mengatakan mereka Muslim Sunni dan 3 persen Muslim Sufi. Sedangkan 9 persen lainnya mengatakan bahwa mereka adalah atheis, bersama dengan 7 persen yang lebih memilih label spiritualitas.
Di antara agama terpilih lainnya, 8 persen mengatakan mereka adalah Zoroastrian, yang ditafsirkan sebagai cerminan dari nasionalisme Persia dengan keinginan pada Islam daripada ketaatan pada keyakinan Zoroaster, sementara 1,5 persen lain mengatakan mereka adalah Kristen.
78 persen orang Iran, mengaku percaya pada Tuhan, tetapi hanya 37 persen yang percaya pada kehidupan setelah kematian dan hanya 30 persen yang percaya pada surga dan neraka. Sejalan dengan penelitian antropologi lainnya, seperempat responden mengatakan bahwa mereka percaya pada jin atau makhluk gaib, dan sekitar 20 persen mengatakan, mereka tidak percaya pada opsi mana pun, termasuk Tuhan.
"Angka-angka ini menunjukkan bahwa proses sekularisasi secara umum, yang dikenal mendorong keragaman agama, sedang berlangsung di Iran," ujar Arab.
Mayoritas, 90 persen koresponden, menggambarkan diri mereka berasal dari keluarga yang beriman atau menjalankan ibadah. Namun 47 persen mengatakan telah kehilangan agama mereka selama hidup mereka, dan 6 persen mengatakan mereka berubah dari satu orientasi agama ke yang lain.
Lebih dari 60 persen mengatakan mereka tidak melaksanakan sholat wajib setiap hari, sejalan dengan jajak pendapat yang didukung negara pada 2020 di mana 60 persen melaporkan tidak menjalankan puasa selama Ramadhan (mayoritas karena 'sakit;). Data ini jelas berbanding terbalik dengan survei komprehensif yang dilakukan pada 1975, sebelum Revolusi Islam, dimana lebih dari 80 persen responden mengatakan mereka selalu shalat dan menjalankan ibadah puasa.
Agama dan legislasi
"Kami menemukan bahwa sekularisasi masyarakat juga terkait dengan pandangan kritis terhadap sistem pemerintahan agama, 68 persen setuju bahwa resep agama harus dikeluarkan dari undang-undang, bahkan jika perlu orang Muslim memegang mayoritas parlemen, namun 72 persen menentang undang-undang yang mewajibkan semua wanita mengenakan jilbab," ujar Arab menjelaskan.
Dari jejak pendapat tersebut, diketahui bahwa orang-orang Iran juga menyimpan pendapat sekuler yang tidak liberal tentang keragaman agama. 43 persen mengatakan bahwa tidak ada agama yang berhak untuk dipamerkan di depan umum. Sedangkan 41% lainnya percaya bahwa setiap agama harus bisa direfleksikan di depan umum.
"Sekularisasi Iran berikutnya yang dikonfirmasi oleh survei kami menunjukkan bahwa gaya sekularisme, yang juga terjadi di Eropa, merupakan bagian dari interaksi global yang kompleks antara kekuatan agama dan sekuler," ungkap Arab.
Sumber: